
Menjaga Akar, Merajut Langit: Integrasi Nilai Islam dan Budaya Lokal dalam Dakwah Muhammadiyah
Oleh: Rizqianto Hermawan (Mahasiswa MPAI-UMS & KMM PCM Kajen)
PWMJATENG.COM – Dakwah adalah jantung dari gerakan Muhammadiyah. Sebagai pendekatan organisasi dalam ‘memandu’ ummah sejak didirikan pada tahun 1912, Muhammadiyah telah memosisikan dakwah sebagai upaya sadar untuk membimbing umat kepada pemahaman Islam yang murni, berkemajuan dan kontekstual. Di tengah masyarakat Indonesia yang kaya akan keragaman budaya, tantangan utama dari dakwah dan bimbingan profetik ini bukan hanya menyampaikan pesan secara benar, tetapi juga dengan cara yang bijak, yakni dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan budaya lokal.
Integrasi antara nilai-nilai Islam dan budaya lokal dalam praktik dakwah bukanlah hal yang baru dalam tubuh Muhammadiyah. Pendekatan ini justru menjadi salah satu kekuatan tersembunyi Muhammadiyah dalam memelihara identitas Islam masyarakat sekaligus menjaga akar budayanya. Dalam konteks ini, budaya tidak dipandang sebagai lawan bagi Islam – sebaliknya, ia adalah kendaraan berharga, media untuk memelihara Islam, memperkaya ekspresi keislaman, selama tidak melanggar prinsip-prinsip tauhid dan syariat.
Muhammadiyah dan Kultural Dakwah: Sebuah Warisan yang Penuh Bijak
KH Ahmad Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah, dikenal tidak hanya sebagai seorang pembaharu yang berpikir rasional, tetapi juga seorang pendidik dan mubaligh yang memahami sosio-psikologi masyarakat Jawa. Dimana kisah beliau yang menyanyikan tembang Jawa sebagai pengantar sebelum mengajarkan Surah Al-Ma’un menunjukkan sensitivitas beliau terhadap nilai-nilai lokal sebagai jembatan dakwah (Shihab, 2020). Ini adalah contoh konkret bagaimana pendekatan kultural digunakan untuk membumikan nilai-nilai Islam tanpa harus mengubah esensinya
Dakwah Muhammadiyah telah berkembang seiring waktu untuk menyesuaikan dengan keunikan budaya di berbagai daerah. Para mubaligh Muhammadiyah tidak jarang menggunakan alat-alat musik, wayang, tembang Jawa, dan simbol-simbol daerah lainnya guna menyampaikan pesan Islam yang menyejukkan dan mencerahkan. Strategi ini sejalan dengan prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, yang berarti untuk mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Budaya Lokal sebagai Sarana, Bukan Substansi
Pemahaman ini menyoroti bahwa elemen-elemen budaya lokal akan membantu dalam Islamisasi, sementara budaya lokal seharusnya hanya menjadi alat dan bukan inti atau substansi dari upaya da’wah. Budaya lokal dimanfaatkan untuk keperluan pemahaman, emosi, dan kenyamanan terhadap penerimaan pesan. Apabila elemen budaya tersebut bertentangan dengan akidah, maka harus ada upaya untuk mentransformasikan, bukan melestarikan, dan ini yang membedakan dakwah budaya dari pendekatan sinkretisme.
Baca juga, Keanekaragaman Hukum dalam Islam: Keteladanan Rasulullah dan Kebijaksanaan Para Sahabat
Dengan cara ini, para mubaligh Muhammadiyah dituntut untuk memiliki sensitivitas budaya dan kemampuan literasi sosial. Jika mereka mengemukakan kritik sosial yang tajam, mereka harus mampu mengetahui bagian mana dari budaya yang harus diadopsi sebagai media dakwah dan bagian mana yang perlu dikritisi secara bijak. Ini membutuhkan kebijaksanaan, bukan hanya ilmu.
Urgensi Dakwah Kultural di Era Digital
Memasuki era disrupsi teknologi dan globalisasi nilai, tantangan dalam berdakwah mengalami peningkatan yang cukup kompleks. Banyak generasi muda yang terpapar pada budaya-budaya global yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai Islam. Namun, pada waktu yang sama, mereka juga cenderung mengalami kekosongan identitas budaya. Dalam hal ini, pendekatan dakwah berbasis budaya lokal sangat diperlukan.
Muhammadiyah perlu mengoptimalkan kekuatan budaya lokal sebagai narasi alternatif yang membumi dan mengakar. Media dakwah berbasis digital—seperti video pendek, podcast, hingga konten media sosial—dapat dikembangkan dengan mengangkat kekayaan budaya lokal, dikemas dalam nuansa Islam yang mencerahkan. Dengan cara ini, generasi muda akan melihat dan mengerti bahwa Islam merupakan bagian dari jati diri mereka, sebagai orang-orang Indonesia yang berbudaya.
Pendekatan ini tidak hanya memperkuat efektivitas dakwah, tetapi juga menjadikan Muhammadiyah lebih inklusif dan diterima luas oleh masyarakat. Di sinilah peran kader-kader muda, khususnya para mubaligh dari kalangan Pemuda Muhammadiyah, menjadi sangat penting. Mereka harus tampil sebagai pionir dakwah progresif yang menggabungkan penguasaan Islam yang dalam dengan kecintaan terhadap budaya dan bangsa.
Merawat Kearifan, Meneguhkan Dakwah Berkemajuan
Dakwah yang ideal adalah dakwah yang membumi tanpa kehilangan arah langit. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin mengajarkan bahwa pendekatan yang lembut, bijak, dan sesuai dengan konteks masyarakat adalah bagian dari hikmah dakwah. Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid harus terus menegaskan komitmennya terhadap dakwah yang transformatif, bukan hanya dalam isi tetapi juga dalam metode.
Integrasi nilai Islam dan budaya lokal bukan sekadar strategi pragmatis, tetapi juga wujud penghargaan terhadap khazanah kemanusiaan yang diciptakan oleh Allah. Dengan tetap berpijak pada tauhid dan prinsip tajdid, Muhammadiyah dapat terus menjadi pelopor dakwah Islam yang mencerdaskan, membebaskan, dan membangun peradaban.
Sumber:
Burhani, Ahmad Najib. 2016. Muhammadiyah Jawa. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
Burhani, Ahmad Najib. 2017. Muhammadiyah Berkemajuan. Bandung: Mizan.
Hilmy, Masdar. 2010. Islamism and Democracy in Indonesia: Piety and Pragmatism. ISEAS Publishing.
Muchlas, dkk. 2022. Dakwah Muhammadiyah dalam Masyarakat DigitalL Peluang dan Tantangan. Yogyakarta: UAD Press.
Ruwaidah. (2015). Dakwah Kultural Muhammadiyah dalam Konteks Kebudayaan. (Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015).
Shihab, M. Q. 2020. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha