Menikah karena Taat kepada Orang Tua, Apakah Dibenarkan Jika Tanpa Cinta?

PWMJATENG.COM – Dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang kental dengan nilai-nilai kekeluargaan, restu orang tua sering dianggap sebagai kunci kebahagiaan dalam pernikahan. Banyak anak yang rela menikah bukan karena cinta, melainkan karena ingin berbakti dan taat kepada orang tua. Namun, muncul pertanyaan yang cukup mendalam: apakah menikah semata-mata karena ketaatan, tanpa ada rasa cinta terhadap pasangan, dibenarkan dalam Islam?
Islam menempatkan pernikahan sebagai ibadah yang sakral. Allah Swt. berfirman dalam Surah Ar-Rum ayat 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa tujuan utama pernikahan bukan sekadar memenuhi perintah sosial atau keluarga, melainkan untuk menghadirkan sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Jika cinta tidak menjadi dasar yang sehat dalam hubungan suami-istri, maka ketenangan yang diharapkan bisa sulit terwujud.
Meski demikian, Islam sangat menjunjung tinggi ketaatan kepada orang tua. Dalam Surah Al-Isra’ ayat 23, Allah berfirman:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu.” (QS. Al-Isra’: 23)
Namun, ketaatan kepada orang tua memiliki batas, yakni selama perintah tersebut tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menimbulkan mudarat bagi anak. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Pencipta.” (HR. Ahmad)
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Dalam konteks ini, menikah tanpa cinta bukanlah bentuk kemaksiatan, tetapi bisa menjadi beban psikologis dan emosional yang berpotensi mengganggu keharmonisan rumah tangga. Oleh karena itu, perintah orang tua untuk menikah hendaknya disertai pertimbangan yang matang antara ketaatan dan kesiapan emosional anak.
Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi menegaskan bahwa pernikahan dalam Islam harus dilandasi kerelaan dan kesediaan kedua belah pihak. Cinta dalam Islam memang bukan satu-satunya dasar pernikahan, tetapi ia menjadi unsur penting yang menguatkan ikatan batin suami-istri. Tanpa cinta, rumah tangga bisa menjadi hubungan yang kering dan formalistik.
Dalam budaya kita, banyak pasangan yang menikah karena dijodohkan atas dasar restu keluarga. Sebagian di antaranya justru menemukan cinta setelah menikah, sementara sebagian lainnya harus berjuang menghadapi kehidupan yang penuh konflik karena tidak ada rasa saling mencintai sejak awal.
Islam memberikan keseimbangan: cinta tidak boleh membutakan dari ketaatan kepada orang tua, tetapi ketaatan pun tidak boleh menghapus hak seseorang untuk memilih pasangan hidup yang dicintainya. Pernikahan yang diridhai Allah adalah pernikahan yang menghadirkan kebahagiaan bagi kedua pihak, bukan sekadar bentuk pengorbanan sebelah pihak demi restu keluarga.
Akhirnya, menikah karena taat kepada orang tua boleh saja, selama tidak meniadakan kerelaan dan kesiapan hati. Cinta bisa tumbuh setelah akad, tetapi jika hati menolak dengan keras, memaksakan diri menikah hanya karena tuntutan bisa berakibat buruk.
Ketaatan yang sejati bukan hanya mengikuti perintah, tetapi juga memahami hikmah di baliknya. Dalam hal ini, komunikasi antara anak dan orang tua menjadi kunci agar keputusan menikah tidak sekadar menjadi bentuk ketaatan formal, melainkan jalan menuju ibadah yang membawa ketenangan, cinta, dan rahmat sebagaimana dikehendaki Allah Swt. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



