Menggugah Makna dan Daya Ibadah
Ibadah merupakan bagian tak terpisahkan dari perintah Allah untuk manusia. Ibadah adalah salah satu jalan menjadi manusia ideal (khairun nas) yang kebaikannya dapat dirasakan untuk dirinya maupun lingkungannya. Hanya dengan ibadah sukses hidup dunia dan akhirat bisa direngkuh.
Analogi ibadah bisa juga disebut sebagai program training Allah untuk umat manusia sebagai jalan memainkan fungsi wakil Tuhan di bumi (khalifah fil ard). Artinya, semua ibadah dalam Islam telah diprogram sedemikian rupa, sehingga bagi mereka yang mengikuti training ini dengan baik, dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupannya, maka terciptalah kemakmuran di bumi dan kebahagian dunia dan akhirat.
Program-program training Allah itu meliputi program harian, mingguan, bulanan, tahunan, dan seumur hidup. Misal, salat sebagai program harian, program mingguan adalah salat jumat, program satu bulan dalam satu tahun yakni puasa Ramadan, program sekali setahun memuat zakat, dan program sekali seumur hidup jika mampu adalah haji. Pertanyannya, sudahkahprogram-program itu dijalankan oleh umat Islam di Indonesia? Sejauhmanakah realisasi dari cita-cita ideal dibalik program Allah itu bagi kita?
Disorientasi
Seolah kontras dengan cita-cita ideal dibalik program-program itu, Indonesia, yang notabene berpenduduk Islam terbesar di dunia, terseok-seok dalam merealisasikan cita-cita hidup yang beradab, sejahtera, adil dan makmur. Mulai dari kemiskinan, kebodohan, kekumuhan, ketidak-displinan, korupsi yang merajalela, kriminalitas, dan lain-lain, adalah potret buram yang menghinggap ditengah-tengah kehidupan bangsa yang dihuni oleh umat muslim mayoritas.
Padahal, Alquran menginginkan, salat misalnya, akan mencegah kekejian dan kemungkaran. Begitupun dengan puasa, zakat, haji dan ibadah kurban. Puasa sejatinya dapat mewujudkan ketakwaan, zakat mampu membersihkan jiwa dan hartanya, haji mampu mewujudkan kebajikan, kurban mampu memusnahkan sisi kehewanan manusia yang buas.
Disinilah pentingnya sebuah pemahaman dan kesadaran tentang arti ibadah baik aspek formal, substansial dan fungsional. Ibadah dalam Islam tidak cukup hanya sebatas ditunaikan, tapi dihayati dan dimanifestasikan dalam kehidupan. Artinya, yang formal dilakukan, yang substansi dipenuhi, dan yang fungsional di optimalisasi dalam kehidupan.
Dalam hemat saya, praktik ibadah muslim Indonesia terjebak pada orientasi keabsahan formal. Ibadahnya masih ala fikih semata dan belum sepenuhnya menyentuh aspek substansi, apalagi fungsionalnya. Mereka yang berpijak pada orientasi fiqh masih berkutat pada masalah sah tidaknya ibadah, boleh tidaknya gerakan atau bacaan ini dan itu, dan sebagainya. Sebagai misal, takbir, aspek fungsinya adalah tidak lagi menyombongkan diri. Salam di akhir shalat adalah komitmen untuk mensejahterakan atau menciptakan kedamaian di sekeliling kita.
Begitupun dengan puasa ramadan. Dari aspek fikih bisa dibilang sukses dan berhasil. Pada bulan ini kesediaan untuk menahan diri cukup sukses. Tapi, usai ramadan sifat sabar yang pernah dibangun di bulan ramadan seolah pudar. Sifat kedermawanan, sifat pemaaf, dan sifat-sifat terpuji lainnya tidak lagi berfungsi.
Ibadah integral
Dalam konteks haji juga tak jauh berbeda. Tidak sedikit praktik ibadah haji berhenti pada orientasi fikih saja, sehingga efek kemabruran tidak dirasakan umat. Yang miskin di sekitar mereka tetap miskin. Lingkungan mereka yang tidak baik, sepulang haji tetap tidak berubah. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Sedemikian kentaranya orientasi formal ini, hingga sanggup melakukan haji berkali-kali, tetapi berulang kali itu pun tidak memberikan nilai kemabruran dirinya yang dirasakan umat banyak.
Dari renungan reflektif diatas, cukup berasalan tentunya untuk membangun jargon-jargon yang memuat gagasan ibadah yang integralistik. Misal, saya salat sombong minggat, saya salat damailah rakyat, saya puasa tentramlah dunia, ayo berkurban jangan mengorbankan sesama, dan jargon-jargon lainnya yang mendorong umat untuk tidak terjebak pada ibadah secara parsial. Sudah barang tentu, jargon tidak boleh berhenti pada jargon, terjebak formalitas juga hingga lupa pada isi dan fungsinya. Dengan jargon ini paling tidak sebagai awalan menggebrak semangat ibadah yang lebih bernilai dan memiliki daya. (Agung/http://www.pcim-northamerica.org)