Menggugah Empati di Tengah Perbedaan: Pelajaran Berharga dari Muhammadiyah
PWMJATENG.COM, Surabaya – Dalam dunia yang semakin kompleks, pemahaman terhadap perbedaan agama menjadi krusial. Pada Annual Meeting, Monitoring, and Evaluation Eco Bhinneka Muhammadiyah yang diadakan di Surabaya pada 12 Oktober 2024, Saad Ibrahim, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tabligh, Dakwah Komunitas, Kepesantrenan, dan Pembinaan Haji-Umrah, menekankan pentingnya memperluas perspektif tentang perbedaan sebagai bentuk nyata dari toleransi.
Saad Ibrahim mengungkapkan bahwa seluruh agama kini dihadapkan pada tantangan besar, terutama dalam menghadapi perkembangan sains yang pesat. Ia menjelaskan bahwa sekularisme di Barat telah mengubah cara pandang terhadap agama, bahkan muncul pandangan ekstrim yang menyatakan bahwa Tuhan telah mati. “Ini adalah dampak dari kemajuan dunia sains yang harus kita hadapi,” jelasnya. Selain itu, munculnya konsep ‘When Science Meets Religion’ yang ditulis oleh Ian G. Barbour bertujuan untuk membangun dialog konstruktif antara sains dan agama. Dalam dialog ini, kedua belah pihak—sains dan agama—dapat saling memahami tanpa saling menafikan.
Lebih lanjut, Saad menekankan pentingnya analisis kritis dalam memahami ajaran agama. “Dengan pesatnya perkembangan sains dan teknologi informasi, pesan agama kini berada dalam tantangan. Namun, masyarakat memiliki peluang lebih besar untuk mempelajari berbagai agama tanpa batasan,” ungkapnya.
Baca juga, Membangun Umat Unggul Berbasis Masjid
Bagi Muhammadiyah, saat ini bukan lagi sekadar berbicara tentang kerukunan antarumat beragama. Muhammadiyah telah menunjukkan bentuk kerukunan lewat kerja sama dengan berbagai umat, keyakinan, dan aliran. “Kami tidak lagi membicarakan toleransi; Muhammadiyah telah memperlihatkan bentuk toleransi dalam tindakan,” tegas Saad. Ia memberikan contoh berbagai perguruan tinggi Muhammadiyah yang tetap menghormati hak pendidikan bagi para mahasiswa yang beragama selain Islam.
Saad juga menawarkan konsep ‘Teologi Kasihan’. Ia menjelaskan bahwa jika setiap individu menanamkan dalam pikirannya bahwa perbedaan perlu dikasihani, maka empati dan rasa ingin melindungi akan tumbuh. “Dengan rasa kasihan, kita dapat membangun empati antar sesama,” paparnya.
“Setiap agama mengajarkan kebaikan dan keselamatan, tentu dalam perspektif masing-masing,” lanjut Saad. Dengan memahami perbedaan dan membangun komunikasi yang baik, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih harmonis. “Di era digital ini, akses untuk belajar tentang agama kita sendiri maupun agama lain semakin luas, dan ini sangat penting untuk membangun toleransi dan dialog yang lebih baik di antara sesama,” tutupnya.
Kontributor : Farah
Editor : M Taufiq Ulinuha