Mengapa Sa’i Sering Terasa Lebih Berat daripada Tawaf?

Mengapa Sa’i Sering Terasa Lebih Berat daripada Tawaf?
Oleh : Tegar S. Ahimza (Profesional Copywritter, Anggota MPI PW Muhammadiyah Jawa Tengah dan Perindu Haramain)
PWMJATENG.COM – Pada suatu waktu, Saya berkata lembut kepada istriku, “Tahukah kau bahwa Sa’i sering terasa lebih berat daripada Tawaf?”
Tawaf memang menenangkan—berputar mengelilingi Ka’bah, simbol pusat ketundukan, hati terasa lebih dekat dengan langit. Tapi Sa’i? Sa’i bukan sekadar ritual, ia adalah tilas luka dan jejak perjuangan seorang ibu—seorang wanita yang seluruh hidupnya dipersembahkan untuk taat kepada Tuhannya.
Sa’i adalah napak tilas keteguhan hati Hajar—seorang hamba pilihan yang dalam kesendiriannya tetap menggenggam ketundukan dan tawakkal. Ia bukan nabi, bukan pula rasul. Tapi Allah mengabadikan langkah-langkahnya dalam ibadah yang akan terus dilakoni oleh jutaan manusia hingga akhir zaman.
Mari kita kembali ke masa itu. Ibrahim, kekasih Allah, bertahun-tahun menanti hadirnya keturunan. Harapannya seakan pupus, hingga di usia senja Allah mengaruniakan Ismail dari rahim Hajar. Namun tak lama berselang, datang perintah yang mengguncang: Tinggalkan istri dan anakmu di tanah gersang, padang tandus tanpa penghuni—di antara dua bukit, Shafa dan Marwah.
Tanpa banyak tanya, Ibrahim patuh. Ia tidak membantah, tidak menawar. Karena cinta pada Allah, ia tinggalkan dua insan yang paling dicintainya. Dan Hajar? Ia tidak memberontak. Ia tidak menangis meminta kepastian. Ia hanya bertanya, “Apakah ini perintah dari Allah?” Ketika Ibrahim mengangguk, ia menjawab, “Jika begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Baca juga, Peran Muslim dalam Menangkal Hoaks dan Berita Palsu di Media Sosial
Sendiri. Dalam terik yang membakar. Bayi kecilnya menangis kehausan. Bekal sudah habis. Hajar berlari dari Shafa ke Marwah, lalu kembali, tujuh kali. Bukan karena dia tahu ada air di sana. Bukan karena dia tahu ada pertolongan. Tapi karena dia tahu… hanya usaha dan tawakkal yang dia punya. Dia tidak pasrah. Dia bergerak. Dia berharap.
Dan justru di saat tak ada lagi sandaran, saat ia berada di ujung ikhtiar, Allah hadirkan mukjizat. Dari hentakan kaki Ismail kecil, memancar air dari bumi kering itu. Zamzam. Air kehidupan. Air yang menjadi titik mula berdirinya sebuah peradaban.

Ibrahim tidak pernah tahu, bahwa tanah sepi yang dia tinggalkan akan menjadi tempat bermukimnya manusia. Bahwa dari situ akan lahir sebuah kota yang diberkahi. Doa yang ia panjatkan di tengah sepi:
“Ya Rabb, jadikanlah hati manusia condong kepada tempat ini.”
Allah kabulkan.
Bakkah menjadi Makkah.
Tempat tumbuhnya Ismail.
Tempat kelahiran manusia termulia, Muhammad ﷺ.
Tempat yang kelak menjadi saksi futuh Makkah—kemenangan tauhid atas segala bentuk kemusyrikan.
Dan semua itu, dimulai dari ketaatan seorang ayah dan keteguhan seorang ibu.
Jadi, mengapa Sa’i terasa lebih berat daripada Tawaf?
Karena ia bukan sekadar langkah kaki. Ia adalah kisah pengorbanan.
Karena ia bukan hanya perjalanan tubuh, tapi perjalanan hati yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
Karena Sa’i adalah air mata, adalah ketundukan, adalah harapan, dan akhirnya—adalah jawaban dari Langit.
Maaf, nulis Sambil Nangis…
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha