Meneladani Sisi Manusiawi Nabi Muhammad: Uswah Hasanah yang Membumi

PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dalam sebuah tausiyah menekankan pentingnya memahami sisi manusiawi Nabi Muhammad ﷺ. Ia menjelaskan bahwa sosok Nabi bukanlah figur “superman” yang sulit diteladani, melainkan manusia biasa yang kehidupannya bisa dijadikan contoh nyata oleh umat Islam.
Menurut Abduh, jika Nabi diposisikan seperti makhluk luar biasa dengan kekuatan gaib, maka umat akan kesulitan meneladani beliau. “Kalau Nabi itu dianggap manusia super, ya susah untuk dicontoh. Badannya kuat, bisa terbang, tidak sakit, itu tidak masuk akal. Padahal Al-Qur’an menegaskan bahwa beliau manusia seperti kita,” tuturnya.
Abduh mengutip firman Allah dalam surah Al-A‘raf ayat 188:
قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَآءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْٓءُ ۚ اِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ
Artinya: “Katakanlah, aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku akan memperbanyak kebaikan dan aku tidak akan ditimpa keburukan. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat ini, kata Abduh, menegaskan bahwa Nabi pun mengalami sakit, lemah, dan keterbatasan layaknya manusia biasa.
Nabi dan Urusan Dunia
Abduh kemudian mengisahkan hadis yang diriwayatkan dari Aisyah tentang peristiwa Nabi bertemu para sahabat yang sedang mengawinkan bunga kurma. Nabi menyarankan agar mereka tidak perlu melakukannya. Para sahabat pun menuruti, tetapi hasil panen kurma justru gagal. Menyadari hal itu, Nabi bersabda:
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُورِ دُنْيَاكُمْ
Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”
Menurut Abduh, hadis ini menjadi bukti bahwa Nabi tidak diutus untuk mengatur seluruh persoalan dunia, melainkan untuk menyampaikan risalah yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan akhlak. Dengan demikian, tidak semua kebiasaan Nabi dalam urusan duniawi harus ditiru secara mutlak.
Ia mencontohkan, Nabi gemar memakan kurma ajwa. Namun, jika ada yang lebih menyukai kurma sukari atau majdul, hal itu tidak menjadikannya keluar dari sunah Nabi. “Sunah itu terkait ibadah. Urusan selera makanan, cara bertani, atau strategi perang, umat justru lebih ahli di bidangnya masing-masing,” ujarnya.
Keterbatasan Nabi dalam Perang
Abduh juga menyinggung sisi manusiawi Nabi saat menghadapi Perang Uhud. Dalam peperangan itu, pasukan Muslim mengalami kekalahan. Salah satunya karena pasukan pemanah meninggalkan pos mereka, sementara sebagian pasukan di bawah komando Abdullah bin Ubay justru mundur sebelum perang dimulai.
“Kalau Nabi tahu yang gaib, tentu beliau bisa mengantisipasi pengkhianatan atau kelemahan pasukan. Namun kenyataannya tidak. Nabi bahkan terluka, giginya patah, dan tubuhnya berdarah,” jelas Abduh.
Baca juga, Abdul Fattah Santoso: Muhammadiyah Muallaf Learning Center Punya Tugas Penting Menjaga Keimanan
Hal ini menunjukkan bahwa Nabi juga tunduk pada hukum sebab-akibat. Kemenangan atau kekalahan ditentukan oleh strategi, kekuatan, dan kesungguhan, bukan semata karena kedudukan beliau sebagai utusan Allah.
Kisah Perang Tabuk
Lebih lanjut, Abduh mengisahkan peristiwa Perang Tabuk. Nabi mendengar kabar bahwa pasukan Romawi tengah bersiap menyerang Madinah. Maka beliau mengerahkan pasukan besar dan menempuh perjalanan panjang di tengah cuaca panas menyengat. Namun, ketika sampai di Tabuk, ternyata kabar tersebut tidak benar.
“Ini bukti lain bahwa Nabi tidak selalu mendapatkan informasi dari wahyu tentang segala hal. Beliau bisa saja menerima informasi yang keliru, sebagaimana manusia pada umumnya,” kata Abduh.
Kesedihan Nabi dalam Kehidupan Keluarga
Sisi manusiawi Nabi juga terlihat dari kehidupan keluarganya. Abduh menuturkan, semua putra Nabi meninggal dunia semasa hidup beliau, termasuk Ibrahim, putra dari Mariah al-Qibtiyah. Nabi sangat sedih dan berusaha menyelamatkan nyawa putranya, tetapi takdir Allah berkata lain.
Putrinya, Fatimah, pun hidup dalam kesederhanaan. Ia harus menggiling gandum hingga tangannya melepuh, sementara suaminya, Ali bin Abi Thalib, bekerja mengangkut air hingga punggungnya sakit. Bahkan, pakaian di rumah mereka hanya satu sehingga harus bergantian dipakai.
Suatu hari, Nabi datang bersama seorang tamu yang membutuhkan makanan. Namun, Fatimah terpaksa menolak karena tidak memiliki kain penutup yang layak. Nabi sangat terharu hingga berdoa: “Ya Allah, janganlah Engkau uji umatku sebagaimana Engkau uji anakku ini.”
“Kalau Nabi mau, tentu bisa meminta Allah menjadikan keluarganya kaya raya. Tetapi beliau tidak melakukannya. Justru kehidupan keluarganya menjadi teladan kesabaran dan ketabahan,” jelas Abduh.
Nabi sebagai Uswah Hasanah
Dari seluruh kisah itu, Abduh menegaskan bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan karena sisi kemanusiaannya yang nyata. Beliau merasakan sakit, bersedih, mengalami kekalahan, bahkan kehilangan anak dan keluarga. Hal inilah yang membuat umat Islam mampu meneladani beliau secara nyata, bukan secara khayalan.
“Kalau Nabi selalu hidup tanpa ujian, umat pasti tidak bisa mencontohnya. Justru karena beliau mengalami penderitaan dan tetap sabar, di situlah letak uswah hasanah yang sesungguhnya,” pungkas Abduh.
Dengan memahami sisi manusiawi Nabi, umat Islam akan lebih mudah menjadikan beliau sebagai panutan hidup. Nabi Muhammad ﷺ bukan sosok yang mengawang-awang, melainkan manusia yang menghadapi kehidupan sebagaimana kita, tetapi tetap menjaga keteguhan iman dan akhlak.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha