Meneladani Nabi: Dari Sekadar Pujian Menuju Cinta yang Membawa Ittiba’

PWMJATENG.COM – Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ selalu menjadi momentum bagi umat Islam untuk memperdalam makna cinta kepada Rasulullah. Namun, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Ahmad Hasan Asyari Ulamai, mengingatkan bahwa cinta kepada Nabi tidak boleh berhenti hanya pada lisan. Dalam tausiyahnya, ia menegaskan bahwa peringatan maulid harus melahirkan sikap ittiba’, yakni mengikuti jejak Nabi dalam kehidupan nyata.
Menurut Ahmad Hasan, banyak orang keliru memahami cinta kepada Rasul hanya sebatas menyanjung. Ia mengatakan bahwa menyanjung Nabi memang baik, tetapi bukanlah puncak dari kecintaan. “Sing nyanjung wes apik, tapi ojo mandeg. Cinta sejati itu diwujudkan dengan meniru dan mengikuti jejak beliau,” katanya.
Membedakan Meneladani dan Mencontoh
Ahmad Hasan menekankan bahwa ada perbedaan antara nyontoni (meniru secara dangkal) dengan meneladani yang hakiki. Ia menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Fattabi‘uni yuhbibkumullāh
“(Katakanlah) Ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (QS. Ali Imran: 31)
Ayat ini menegaskan bahwa ittiba’ kepada Rasulullah adalah jalan untuk meraih cinta Allah. “Nabi bukan hanya pedagang, tapi sahabat-sahabat beliau ada yang menjadi aparat, penulis, administrator, bahkan pekerja biasa. Artinya, ittiba’ itu bisa diwujudkan dalam beragam profesi, tidak harus seragam,” ujarnya.
Dengan demikian, cinta kepada Rasulullah tidak hanya tampak dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan ketulusan dan niat karena Allah.
Cinta yang Melahirkan Amal karena Allah
Dalam tausiyahnya, Ahmad Hasan menjelaskan bahwa puncak cinta adalah ketika segala amal dilakukan semata-mata karena Allah. Ia menukil sabda Rasulullah ﷺ bahwa salah satu tanda kebaikan adalah mencintai atau membenci karena Allah.
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيمَانَ
“Barang siapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan karena Allah, maka sempurnalah imannya.” (HR. Abu Dawud)
Ahmad Hasan mencontohkan dengan bahasa sederhana. Ia mengatakan bahwa dalam rumah tangga pun, cinta harus diniatkan karena Allah. “Kalau sayang pada pasangan hanya karena fisiknya, itu rapuh. Tapi kalau karena Allah, maka akan kokoh dan penuh kesetiaan,” tuturnya.
Ia menambahkan, seseorang yang mampu beramal semata karena Allah telah mencapai derajat tertinggi dalam cinta. Misalnya, rela melakukan sesuatu yang tidak disukai demi membahagiakan pasangan, jika diniatkan karena Allah, maka itu bernilai ibadah.
Mengikuti Jejak Nabi dalam Kehidupan Sosial
Cinta kepada Rasulullah, lanjut Ahmad Hasan, harus diwujudkan dalam kehidupan sosial. Rasulullah dikenal sebagai pribadi yang penuh kasih sayang, terutama kepada orang-orang yang tertindas. Ahmad Hasan mengingatkan sabda Nabi:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rezeki melainkan karena orang-orang lemah di antara kalian?” (HR. Bukhari)
Baca juga, Menyambut Rabiul Awal dengan Ibadah dan Suka Cita
Menurutnya, salah satu bentuk ittiba’ adalah menyayangi orang-orang yang terzalimi, bukan justru ikut menzalimi. Ia menekankan bahwa bergaul dengan kaum lemah akan menumbuhkan kelembutan hati dan rasa syukur. “Kalau berkumpul dengan pejabat atau orang kaya, mungkin kita hanya berharap kecipratan. Tapi jika sering bersama orang yang serba kekurangan, kita akan lebih banyak bersyukur,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar umat Islam tidak salah memilih teman. “Jangan hanya berteman dengan orang yang selalu menagih utang, tapi juga rangkul mereka yang sering kesulitan hidup. Dari situ, hati kita akan lebih lembut,” katanya.
Dari Zikir Menuju Ittiba’
Dalam pandangan Ahmad Hasan, peringatan Maulid Nabi bukan sekadar momentum untuk bersholawat atau menyebut nama Nabi. Ia menegaskan bahwa sholawat memang penting, tetapi tidak boleh berhenti hanya di lisan. “Kalau orang lain bisa rutin bersholawat, jangan malah meremehkan. Tapi juga jangan berhenti di situ. Wujudkan cinta itu dengan ittiba’,” tegasnya.
Ia mengajak umat Islam agar memperingati maulid dengan menumbuhkan cinta paripurna, yaitu cinta yang melahirkan amal nyata. Bukan hanya mengingat dan menyanjung, tetapi juga mengikuti jejak Rasulullah dalam kesederhanaan, kepedulian, dan ketulusan.
Belajar dari Kisah Rabi’ah al-Adawiyah
Sebagai penutup tausiyahnya, Ahmad Hasan menyinggung kisah sufi perempuan terkenal, Rabi’ah al-Adawiyah. Rabi’ah dikenal dengan konsep mahabbah, cinta murni kepada Allah. Ia bahkan memilih untuk tidak menikah karena khawatir cintanya terbagi. “Rabi’ah tidak menolak pernikahan, tetapi ia takut jika pernikahan membuat cintanya kepada Allah berkurang,” kata Ahmad Hasan.
Kisah Rabi’ah ini menjadi cerminan bahwa cinta kepada Allah harus ditempatkan di atas segalanya. Cinta manusiawi boleh saja ada, tetapi tidak boleh mengalahkan cinta kepada Sang Khalik.
Menjadikan Maulid sebagai Momentum Perubahan
Ahmad Hasan menegaskan bahwa peringatan Maulid Nabi seharusnya menjadi titik balik dalam memperkuat iman. Umat Islam tidak boleh berhenti pada seremonial, melainkan harus menjadikannya sarana untuk menumbuhkan kesadaran spiritual.
“Kalau kita sudah mampu beramal hanya karena Allah, itu puncak cinta,” ungkapnya. Dengan begitu, peringatan Maulid Nabi tidak hanya menjadi ritual tahunan, tetapi juga momentum perubahan menuju kehidupan yang lebih bermakna, penuh kasih sayang, dan setia pada ajaran Rasulullah ﷺ.
Kontributor : Septiana Bunga
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha