Mencari Pasion Muhammadiyah pada Ranah Politik
Tahun 2024 adalah tahun politik di mana regenerasi kepemimpinan nasional akan digelar. Pesta demokrasi yang digelar dengan anggaran yang tidak sedikit. Jujur kadang harus menyisakan kekecewaan sebagian orang. Itulah demokrasi, suara terbanyak yang akan jadi pemenang, walau yang terbanyak kadang tidak berkualitas. Dan itu harus kita akui karena amanah konstitusi.
Muhammadiyah berdiri sebelum bangsa Indonesia lahir (merdeka-red). Dari pengalaman sejarah, sebenarnya banyak tokoh Muhammadiyah secara pribadi berkecimpung di dunia politik. Seperti Ki Bagus Hadi Kusumo, Kasman Singodimedjo, Ir.Soekarno, dll; tentumya ini bisa menjadi referensi generasi muda Muhammadiyah.
Muhammadiyah secara organisasi memang tidak berafiliasi dengan parpol apapun, namun Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan semua parpol.
Bicara soal politik tak akan lepas dengan parpol, mengingat dari parpol inilah kader legislatif dan eksekutif lahir. Jadi, sangat lucu dan bisa kita katakan orang kurang perhitungan bila ingin mencalonkan pimpinan lembaga negara, terutama legislatif dan eksekutif tanpa parpol (independen).
Partai politik adalah hulu dari semua kebijakan pemerintahan yang ada. Segala kebijakan yang dihasilkan akan berimplikasi pada masyarakat luas (Thontowi Jauhari, 2014).
Ketika zaman orba, Golkar memegang suara mayoritas, sehingga semua kebijakan bisa para kader-kader Golkar buat. Saat ini PDIP yang menjadi pemenang dan memegang pucuk pemerintahan, maka tak aneh bila warna merah yang mendominasi. Terlebih visi yang mereka usung membuat hampir semua partai masuk dalam jaringan pemerintah, kecuali PKS dan Demokrat.
Kader Muhammadiyah yang ingin berlaga di ranah eksekutif dan legislatif harusnya mulai masuk dan mendekat ke partai politik. Karena dari sinilah tiket untuk jadi anggota DPR, bupati, gubernur, dan presiden bisa kader dapat. Meskipun tidak menjadi jaminan dan meski masih ada jalur independen, tanpa dengan parpol. Tapi pengalaman sejarah, justru kebanyakan jalur ini (indenden) diisi dan dibuat oleh para politisi untuk membuat calon-calon “boneka’. Dari pengalaman sejarah juga, yang sukses mampu mengumpulkan KTP adalah yang mendapat bantuan jaringan sayap partai.
Modal Politik
Dari beberapa pengamatan penulis, di antara beberapa caleg dan cabub yang jadi itu paling tidak memiliki 5 M, di antaranya:
1. Man (Manusia). Figur tokoh, nama baik, rekam jejak, dan kiprah akan menjadi poin.
2. Money (Biaya). Biaya sosialisasi dan atributisasi calon tinggi. Untuk sekelas cabub saja bisa mencapai 1-2 Milyar. Belum calon “nakal” untuk tembakan person. Calon tunggal saja berani “munjung” pemilih 50-75, terlebih jika ada rivalnya. Kalikan saja jumlah pemilih!
3. Mandate (Dicalonkan). Dalam hal ini hak parpol. Bila dapat mandat biasanya jaringan juga otomatis terbentuk dan tinggal merawatnya. Dan tiket untuk dicalonkan Itu mahal, bagi partai besar akan berebut dengan kader internal, jika partai tanggung harus koalisi, dan kadang harus ngasih “mahar” tinggi. Setelah dicalonkan tidak serta merta duduk manis, harus kontestasi lagi yang tentunya biaya lagi. Itulah liku-liku untuk bisa menduduki kursi.
4. Media. Bila ingin popoler, maka calon memang harus menguasai media. Dari media inilah ketokohan bisa dibuat. Tak Aneh jika saat ini para calon sudah mulai memanfaatkan media baik itu cetak, maupun elektronik seperti TV. Berapa milyar ya untuk beriklan pada satu stasiun? Oh, politik ternyata mahal!
5. Marketing (Pemasaran). Sesuatu yang baik disajikan dengan cara yang kurang baik, pasti diterima nggak baik. Maka branding calon dengan segala tim “pemasasaran” menjadi kunci keberhasilan.
Belajar dari Marpuji Ali dan Dahlan Rais Sampai Amien Rais
Tahun 2009 dan 2014, Muhammadiyah Jawa Tengah pernah mencalonkan Bapak Dahlan Rais dan Bapak Marpuji Ali menjadi Anggota DPD RI. Ya, jalur inilah yang dirasa aman karena tidak harus melalui partai politik, cukup dengan dukungan KTP. Setelah dukungan terpenuhi, kontestasi terjadi. Kala itu pil pahit harus ditelan Muhammadiyah Jawa Tengah karena tak mampu mengantarkan pimpinan sekaliber Dahlan Rais dan Marpuji Ali. Ini artinya, memang jamaah kita masih sedikit, atau bisa jadi tidak solid.
Kancah nasional Amien Rais di era tahun reformasi 1999, juga pernah menjadi calon presiden. Di Era inilah kesempatan emas untuk Amien Rais, tapi kenyataan susahnya cari tokoh pendamping, akhirnya juga harus berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo yang notebenenya bagian dari tokoh Orba. Lagi-lagi Tokoh yang masyarakat elu-elukan waktu itu ternyata Partainya hanya tembus kisasaran 7,5 % . Dan di saat pilpres juga kalah. Orang sehebat Amien, dan dengan momentum yang pas saja nggak bisa menang.
Dari pengalaman sejarah ini, hendaknya para pimpinan bisa memperhitungkan dan mempelajari karakteristik warga Muhammadiyah dalam sikap politik. Jangan sampai berharap terlalu tinggi, tapi realisasi minim. Maka perlu pemikiran dan strategi matang.
Belajar dari Para yang Menang
Jika mau merubah keadaan, memang harus sabar dan konsisten. Bahkan, sampai harus bertahun tahun menunggu waktu yang pas. Di antara para pemenang zaman Orba maupun zaman sekarang itu, yang bisa kita amati dari yang terang-terangan maupun gerakan senyap yaitu:
1. Menguasai Aparatur Sipil Negara menjadi lahan efektif untuk tim pemenangan.
2. Mendesain kades dan perangkat desa. RT, RW, Kaur, Sekdes, dan Kepala Desa merupakan jaringan empuk yang selalu diperebutkan parpol.
3. Kuasai komunitas dan organisasi keagamaan. Organisasi yang anggotanya besar akan selalu diperebutkan. Maka tidak aneh, kaum minoritas dalam demokrasi selalu dipandang sebelah mata.
Dari peta ini saja, jikalau Muhammadiyah mau bermain jauh dalam jangka panjang, harus mendesain : kadernya jadi RT/RW, Kades, ASN dan komunitas komunitas masyarakat lainya. Harapanya, gerakan Muhammadiyah akan lebih mudah. Dan Ini waktunya panjang. Perlu beberapa generasi, tapi harus selalu di wacanakan supaya tidak putus jalan.
Pasion Muhammadiyah Apa?
Mecermati, dan membaca bahwa modal kapital yang besar, sementara orang Muhammadiyah itu “ora tegelan” sesuai jargon bahwa Muhammadiyah adalah Umathan Washatiyah (Umat Tengah) dalam konteks keterlibatan politik di saat ini akan lebih pas. Hemat penulis pasionya sebagai wasit. Wasit bisa berupa penyelenggara pemilu ataupun pengawas pemilu, dengan beberapa pertimbangan :
– Tidak memerlukan biaya yang tinggi.
– Modal trust/kepercayaan bahwa orang Muhammadiyah jujur.
– Sudah ada jaringan. Beberapa senior yang di KPU/Panwas memiliki rekam jejak yang baik.
Meskipun hal ini juga tidak serta merta menjadi suatu hal yang mutlak, mengingat ormas di Indonesia tidak hanya Muhammadiyah, yang lainpun juga akan memperebutkan.
Kerja berkesinambungan, terus bergerak, dan mengikat jaringan kader dengan ideologi. Setelah dirasa cukup kuat, jumlah PNS, Kades/Perangkat desa sudah mulai banyak, dan mendapatkan momentum yang pas. Pasti akan lebih mudah.
Dan tentunya juga tetap terus memberi ruang terbuka. Teruntuk kader yang saat ini dirasa mampu dan kuat untuk langsung kontestasi ya dipersilahkan. Selamat berjuang!
Oleh : Pujiono
Ketua Majelis Pendidikan Kader PDM Boyolali