Khazanah Islam

Menafsir Ulang Sirah Nabawiyah: Dari Narasi Mitos Menuju Pemahaman Historis

PWMJATENG.COM – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dalam salah satu ceramahnya menyampaikan sudut pandang baru dalam memahami sirah nabawiyah. Ia menekankan bahwa sirah bukanlah kitab sejarah dalam arti yang murni akademis, melainkan kumpulan riwayat yang sering kali bercampur dengan dongeng atau kisah mitis. Karena itu, banyak bagian dari sirah yang sumbernya lemah dan tidak terverifikasi secara ilmiah.

Menurutnya, sirah tetap penting karena menjadi dokumen awal tentang kehidupan Nabi Muhammad. Di samping sirah nabawiyah, terdapat pula sirah sahabiyah yang memuat kisah-kisah sahabat Nabi. Pada masa formatif Islam, literatur semacam ini berperan besar dalam mengenalkan ajaran Islam dan figur Nabi kepada masyarakat Arab yang masih sederhana dalam pola pikir dan budaya literasi.

Namun, seiring meningkatnya pendidikan dan daya nalar umat, kisah-kisah mitis yang dahulu dilekatkan pada sosok Nabi mulai dipandang tidak relevan. Abduh menekankan bahwa sejak abad lalu sudah ada kajian ilmiah mengenai Nabi Muhammad dengan pendekatan historis maupun arkeologis. Meski begitu, di kalangan umat Islam, informasi tentang Nabi kerap tetap bercampur dengan dongeng yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Mitos Kelahiran Nabi dan Tradisi Lisan

Abduh menyinggung contoh mitos seputar kelahiran Nabi Muhammad. Dikisahkan bahwa saat Aminah melahirkan, rumahnya dipenuhi cahaya terang benderang. Atau bahwa Abdullah, ayah Nabi, memiliki cahaya di dahinya sebelum menikah. Menurutnya, cerita semacam ini sulit diterima secara logis, namun hidup subur dalam tradisi lisan masyarakat Muslim.

Hal itu tidak lepas dari kondisi masyarakat Arab pada masa jahiliah. Berbeda dengan Bani Israel yang memiliki Taurat, atau umat Nasrani yang memiliki Injil, masyarakat Arab pra-Islam tidak memiliki kitab suci maupun sistem hukum yang mapan. Mereka hidup di padang pasir dengan kondisi alam yang keras dan fenomena yang sering kali tiba-tiba. Akibatnya, keyakinan terhadap hal-hal gaib sangat kuat.

Mereka percaya pada jin, makhluk gaib, hingga benda-benda sakti. Bahkan istilah majnun (orang gila) berasal dari kata jinn, karena diyakini bahwa penyakit jiwa disebabkan oleh kemasukan jin. Pandangan semacam ini turut memengaruhi cara mereka menerima kisah-kisah yang penuh keajaiban tentang Nabi dan para tokoh agama.

Sirah Nabawiyah dalam Lingkungan Mitis

Ibnu Ishaq, penyusun awal sirah nabawiyah, hidup di masa ketika umat Islam masih sangat dipengaruhi oleh pola pikir mitis. Tak heran, banyak riwayat yang menggambarkan Nabi dengan cara yang luar biasa dan penuh keajaiban. Hal ini juga terlihat dalam kisah para nabi sebelumnya, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an.

Baca juga, Hukum Gaji yang Didapatkan dari Pekerjaan Lewat Jalur Ordal

Misalnya, Nabi Musa dengan tongkat yang berubah menjadi ular, atau tongkat yang membelah laut menjadi jalan kering. Kisah semacam itu mudah diterima oleh masyarakat yang terbiasa dengan narasi mitis. Untuk meyakinkan kehebatan Nabi Ibrahim, bahkan diceritakan bahwa ia tidak mempan dibakar api.

Namun, Nabi Muhammad justru menegaskan bahwa tugasnya bukan mendatangkan mukjizat yang bersifat material, melainkan memberi peringatan moral. Ia mengingatkan masyarakat agar tidak melampaui batas, menolong anak yatim, serta membantu kaum lemah. Pesan Nabi, kata Abduh, bersifat universal: menolong sesama manusia dan menjaga keadilan sosial.

Dari Mitos ke Historis

Riwayat tentang Nabi yang didatangi malaikat ketika kecil lalu dibedah dadanya untuk mengeluarkan “segumpal hitam” juga dipandang Abduh sebagai simbolis. Itu lebih sebagai penggambaran bahwa Nabi memiliki jiwa bersih, bukan peristiwa medis yang benar-benar terjadi.

Karena itu, umat Islam modern, menurutnya, perlu mengubah cara pandang terhadap Nabi Muhammad: dari sosok mitis menuju sosok historis. Nabi Muhammad adalah manusia yang hidup di tengah masyarakat Arab dengan kondisi budaya, sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Ia menghadapi kebingungan, rasa takut, dan dilema sebagaimana manusia pada umumnya.

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ

Qul innamā anā basyarum mitslukum

“Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu.” (QS. Al-Kahfi: 110).

Ayat ini menegaskan kemanusiaan Nabi. Ia bukan sosok yang hidup dalam dunia mitos, melainkan teladan nyata bagi manusia. Justru dalam keterbatasannya sebagai manusia biasa, Nabi Muhammad menjadi uswatun hasanah, suri teladan terbaik bagi umat.

Penutup: Relevansi Pemahaman Baru

M. Abduh Hisyam menegaskan, memahami Nabi sebagai manusia historis justru membuat kita lebih adil dalam meneladani beliau. Kita tidak lagi terjebak pada kisah yang sulit diverifikasi, tetapi menekankan pada nilai universal yang diajarkan: kejujuran, kepedulian, dan keberpihakan kepada kaum lemah.

Dengan pemahaman ini, sirah nabawiyah tetap memiliki nilai penting, tetapi dibaca secara kritis. Narasi mitis dapat dipahami sebagai bagian dari konteks budaya masa lalu, sementara inti ajaran Nabi Muhammad harus dipandang sebagai pedoman moral yang abadi.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE