Membedah Surat Al-Ma’arij: Refleksi Kejiwaan dan Spiritualitas dalam Menegakkan Keadilan

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam suasana yang khidmat dan penuh perhatian, dosen Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Ainur Rha’in, mengulas secara mendalam makna dan pesan spiritual dari Surat Al-Ma’arij. Kajian yang berlangsung pada Kamis (31/7) itu tidak hanya menawarkan pengetahuan tafsir, tetapi juga mengajak peserta merefleksikan kondisi kejiwaan manusia dan solusi Islam yang menyeluruh.
Menurut Ainur, Surat Al-Ma’arij merupakan salah satu surat yang menyimpan kekayaan pesan psikologis dan spiritual. Ia menyebutkan bahwa bagian ketiga dari surat ini sangat relevan dengan kondisi manusia modern, baik yang beriman maupun yang kufur. Ia menyoroti bagaimana Al-Qur’an menggambarkan sifat manusia yang mudah mengeluh dan larut dalam kesedihan ketika menghadapi kesulitan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
إِنَّ ٱلْإِنسَـٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا
إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا
وَإِذَا مَسَّهُ ٱلْخَيْرُ مَنُوعًا
“Manusia diciptakan dalam keadaan gelisah, apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan ia kikir.” (QS. Al-Ma’arij: 19-21)
Ainur menjelaskan bahwa ayat-ayat ini sebenarnya tidak hanya menggambarkan sifat orang kafir. “Sifat-sifat ini bisa menimpa siapa saja, termasuk orang mukmin. Solusinya adalah kembali kepada salat, zakat, dan kontribusi sosial sesuai kemampuan,” ujarnya.
Ia menegaskan, bentuk kontribusi dalam menegakkan keadilan dapat dilakukan oleh siapa saja sesuai kapasitasnya. “Kalau punya ilmu, tegakkan dengan ilmu. Kalau punya tenaga, bantu dengan tenaga. Setiap profesi memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan keadilan, baik itu dosen, hakim, ataupun pemimpin,” papar Ainur.
Salah satu bagian menarik dari kajian tersebut adalah pembahasan ayat ke-36 hingga 37, yang menggambarkan perilaku kaum kafir yang datang berbondong-bondong kepada Rasulullah ﷺ, bukan untuk beriman, melainkan untuk mengejek dan memperolok wahyu. Ainur menilai bahwa tindakan itu merupakan kontradiksi psikologis.
“Mereka tidak percaya hari pembalasan, tapi tetap datang mengejek. Ini menunjukkan bahwa secara bawah sadar mereka mengakui kebenaran, namun akal mereka dibutakan oleh hawa nafsu,” terangnya.
Baca juga, Islam Memandang Keinginan Bunuh Diri karena Takut Memperbanyak Dosa
Kajian tersebut juga mengupas kesalahan logika orang-orang kafir yang menyamakan kenikmatan dunia dengan jaminan kebahagiaan akhirat. Banyak dari mereka menganggap bahwa kekayaan dan jabatan adalah bukti bahwa Allah memihak mereka. Padahal, kata Ainur, dalam Islam ukuran kemuliaan bukanlah materi, melainkan keimanan dan ketakwaan.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ia pun mengkritik perilaku masyarakat yang terlalu mengagungkan status sosial duniawi, bahkan hingga urusan kematian. “Kuburan yang mewah tidak berarti apa-apa di sisi Allah. Yang penting adalah amal jariyah dan keimanan semasa hidup,” katanya tegas.
Ketika membahas ayat ke-40 hingga 44, Ainur menjelaskan bahwa Allah menunjukkan kekuasaan-Nya atas timur dan barat, sebagai bentuk sumpah untuk menegaskan keseriusan-Nya dalam mengganti kaum kafir dengan kaum yang lebih taat. Ia mengatakan bahwa ini adalah bentuk peringatan bahwa keistimewaan dunia tidak menjadi jaminan di akhirat.
فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ ٱلْمَشَـٰرِقِ وَٱلْمَغَـٰرِبِ إِنَّا لَقَـٰدِرُونَ
عَلَىٰٓ أَن نُّبَدِّلَ خَيْرًۭا مِّنْهُمْ ۖ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ
“Aku bersumpah demi Tuhan yang menguasai timur dan barat. Sungguh Kami benar-benar kuasa untuk mengganti mereka dengan kaum yang lebih baik, dan Kami tidak akan dikalahkan.” (QS. Al-Ma’arij: 40-41)
Dosen UMS itu pun mengajak peserta untuk merenungkan asal-usul manusia yang berasal dari air mani yang hina. Menurutnya, manusia tidak memiliki dasar untuk menyombongkan diri.
أَلَمْ نَخْلُقكُّم مِّن مَّآءٍۢ مَّهِينٍۢ
“Bukankah Kami telah menciptakan kamu dari air yang hina?” (QS. Al-Mursalat: 20)
Ia menegaskan, kemuliaan hanya datang dari keimanan, bukan dari status sosial atau kekayaan.
Di akhir kajian, Ainur menyampaikan gambaran tentang hari kebangkitan. Hari itu, kata dia, akan menjadi hari kehinaan bagi orang-orang kafir. Mereka akan bangkit dari kubur dalam keadaan hina, berdebu, dan ketakutan, seperti belalang yang beterbangan dari tanah, berlari dalam ketakutan menuju azab yang pernah mereka ingkari.
Pada sesi tanya jawab, seorang peserta bernama Agus Budi Wahyudi mengajukan pertanyaan mengenai sikap terhadap orang kafir yang sesungguhnya tahu kebenaran, namun tetap menolak. Ainur menjawab bahwa umat Islam harus tetap menampilkan akhlak karimah sebagai wujud dakwah yang paling kuat.
“Kita mungkin tidak bisa mengubah semua takdir, tapi kita bisa memilih menjadi pribadi yang memperjuangkan peradaban Islam. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan bisa menjadi bagian dari dakwah,” pungkasnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha