Masyarakat Sipil dan Transisi Energi Hijau
Masyarakat Sipil dan Transisi Energi Hijau
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Literasi Lingkungan Hidup)
PWMJATENG.COM – Di tengah peralihan besar menuju energi hijau, masyarakat sipil muncul sebagai aktor penting yang sering kali luput dari perhatian. Dalam konteks demokrasi, masyarakat sipil memainkan peran strategis sebagai penyeimbang antara negara, korporasi, dan mitra internasional, yang terkadang hanya fokus pada kepentingan jangka pendek dan keuntungan material. Dengan kekuatannya yang berakar pada advokasi, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat, masyarakat sipil mampu menjadi motor penggerak utama untuk memastikan transisi energi yang berkeadilan dan inklusif.
Konteks Global Transisi Energi
Transisi energi hijau, sebagai upaya untuk menggantikan sumber energi fosil dengan energi terbarukan, bukan sekadar pergeseran teknis. Ini adalah perubahan paradigmatik yang menyentuh berbagai aspek, mulai dari tata kelola energi, kebijakan lingkungan, hingga distribusi sosial-ekonomi. Namun, realitas transisi ini sering diwarnai dengan ketimpangan. Negara-negara berkembang kerap menjadi “korban” atas ambisi global untuk energi hijau, karena mereka dipaksa menanggung beban lingkungan dan sosial akibat eksploitasi sumber daya untuk memenuhi kebutuhan teknologi hijau negara maju.
Dalam kondisi seperti ini, masyarakat sipil memainkan peran penting untuk memastikan bahwa transisi energi tidak hanya berfokus pada tujuan lingkungan semata, tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial. Tanpa keterlibatan masyarakat sipil, transisi energi berisiko menjadi monopoli negara dan korporasi yang cenderung mengabaikan kelompok masyarakat rentan.
Advokasi Kebijakan dan Reformasi Tata Kelola
Salah satu kontribusi utama masyarakat sipil adalah mengadvokasi reformasi kebijakan di sektor energi. Dalam banyak kasus, kebijakan energi sering kali didikte oleh aktor-aktor besar yang memiliki akses lebih besar ke sumber daya dan kekuasaan politik. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sipil bertindak sebagai penjaga kepentingan publik, mendorong kebijakan yang lebih inklusif, transparan, dan berbasis pada kebutuhan nyata masyarakat.
Sebagai contoh, di beberapa negara berkembang, organisasi masyarakat sipil telah berhasil menekan pemerintah untuk meningkatkan alokasi anggaran energi terbarukan bagi daerah pedesaan yang sebelumnya tidak terjangkau listrik. Advokasi ini tidak hanya memastikan pemerataan akses energi, tetapi juga membuka peluang bagi inovasi lokal yang berkelanjutan.
Akuntabilitas dan Transparansi
Masyarakat sipil juga memiliki peran sentral dalam memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam tata kelola energi. Proyek energi skala besar, seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau angin, sering kali melibatkan dana publik yang besar. Tanpa pengawasan masyarakat sipil, ada potensi penyalahgunaan anggaran dan kegagalan proyek yang berdampak pada kerugian masyarakat luas.
Baca juga, Muballigh Muhammadiyah Sebagai Pilar Dakwah dan Pahlawan Umat
Melalui pemantauan independen, masyarakat sipil dapat mengidentifikasi dan melaporkan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek energi hijau. Mereka juga dapat memastikan bahwa proyek-proyek ini tidak hanya menguntungkan segelintir elit, tetapi benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat
Salah satu kekuatan utama masyarakat sipil terletak pada kemampuannya untuk memberdayakan masyarakat akar rumput. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait proyek energi hijau di wilayah mereka. Akibatnya, banyak proyek yang gagal karena kurangnya dukungan dari masyarakat setempat.
Masyarakat sipil dapat menjembatani kesenjangan ini dengan melibatkan komunitas lokal dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek energi. Melalui pendekatan partisipatif, masyarakat tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga aktor utama dalam keberhasilan transisi energi. Misalnya, inisiatif desa energi mandiri yang diprakarsai oleh masyarakat sipil di beberapa wilayah Indonesia menunjukkan bagaimana partisipasi masyarakat dapat menciptakan solusi energi yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan konteks lokal.
Memastikan Keadilan bagi Kelompok Rentan
Transisi energi hijau sering kali membawa dampak sosial yang signifikan, terutama bagi kelompok masyarakat rentan seperti petani, nelayan, dan buruh. Proyek energi skala besar, seperti pembangunan bendungan untuk tenaga hidro atau pengembangan tambang untuk bahan baku teknologi hijau, sering kali menyebabkan penggusuran dan kehilangan mata pencaharian.
Dalam situasi ini, masyarakat sipil berperan untuk memastikan bahwa hak-hak kelompok rentan tidak diabaikan. Mereka dapat mengadvokasi kompensasi yang adil, menyediakan pelatihan untuk alih keterampilan, atau bahkan mengembangkan model alternatif yang lebih ramah terhadap masyarakat lokal. Dengan cara ini, masyarakat sipil membantu menciptakan transisi energi yang tidak hanya hijau tetapi juga adil.
Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Sipil
Meskipun memiliki potensi besar, masyarakat sipil juga menghadapi berbagai tantangan dalam mendorong transisi energi hijau. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan sumber daya. Banyak organisasi masyarakat sipil yang bergantung pada pendanaan eksternal, yang sering kali bersifat jangka pendek dan terbatas.
Selain itu, masyarakat sipil juga sering menghadapi resistensi dari pemerintah dan korporasi yang melihat mereka sebagai ancaman terhadap status quo. Dalam beberapa kasus, organisasi masyarakat sipil bahkan mengalami kriminalisasi atau pembatasan ruang gerak. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan solidaritas antarorganisasi masyarakat sipil, baik di tingkat lokal maupun internasional.
Menuju Demokratisasi Energi
Salah satu visi besar yang dapat diperjuangkan oleh masyarakat sipil adalah demokratisasi sektor energi. Dalam sistem ini, masyarakat tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga memiliki peran aktif dalam pengelolaan sumber daya energi. Demokratisasi energi dapat diwujudkan melalui pengembangan energi berbasis komunitas, di mana masyarakat lokal memiliki kontrol atas produksi dan distribusi energi di wilayah mereka.
Dengan pendekatan ini, transisi energi tidak hanya menjadi proyek teknokratis, tetapi juga proses sosial yang memperkuat kapasitas masyarakat untuk mengelola sumber daya mereka secara mandiri. Hal ini juga sejalan dengan prinsip keadilan sosial, di mana manfaat dari transisi energi didistribusikan secara merata di seluruh lapisan masyarakat.
Dalam perjalanan menuju transisi energi hijau, masyarakat sipil memainkan peran yang tidak tergantikan. Sebagai penyeimbang antara negara, korporasi, dan masyarakat, mereka memastikan bahwa transisi energi tidak hanya berfokus pada aspek lingkungan tetapi juga menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial.
Melalui advokasi kebijakan, pengawasan akuntabilitas, pemberdayaan masyarakat, dan perlindungan hak-hak kelompok rentan, masyarakat sipil membuktikan bahwa mereka adalah pilar utama dalam mewujudkan transisi energi yang inklusif dan berkelanjutan. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, kekuatan masyarakat sipil dalam mengorganisasi dan memobilisasi masyarakat memberikan harapan bahwa transisi energi hijau dapat menjadi lebih dari sekadar slogan, tetapi sebuah kenyataan yang membawa manfaat bagi semua pihak.
Dengan dukungan dan pengakuan yang lebih luas, masyarakat sipil dapat menjadi ujung tombak dalam mengarahkan transisi energi menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber:
Pergulatan Transisi Energi Berkeadilan, Editor: Geger Riyanto, Bagian 4 Dalam Sub. Judul: Peran Masyarakat Sipil dalam Transisi Energi Berkeadilan: Destabilisasi Rezim dan Memantik Inovasi, penulis Defbry Margiansyah, hal 213-224. Buku ini Diterbitkan oleh: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan Trend Asia, Tahun 2024 di Jakarta.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha