Makna Hakiki Ibadah Kurban: Menyembelih Ego, Menebar Kepedulian

Makna Hakiki Ibadah Kurban: Menyembelih Ego, Menebar Kepedulian
Oleh : Wahidin Hasan (Penulis, Wartawan Senior, dan Sekretaris LHKP PWM Jawa Tengah)
PWMJATENG.COM – Kata qurban (قربان) berasal dari akar kata qaruba (قَرُبَ) yang berarti “mendekat”. Dalam konteks syariat Islam, kurban bermakna suatu ibadah yang dilakukan sebagai bentuk pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah Swt.
Secara praktik, kurban adalah menyembelih hewan ternak—seperti kambing, sapi, atau unta—pada Hari Raya Iduladha (10 Dzulhijjah) dan hari-hari Tasyriq (11–13 Dzulhijjah). Namun, makna kurban jauh melampaui sekadar ritual penyembelihan. Ia merupakan simbol ketaatan dan pengorbanan total kepada Allah, sebagaimana diungkapkan Imam Al-Razi dalam Tafsir al-Kabir, bahwa kurban adalah ujian keimanan tertinggi yang pernah dialami Nabi Ibrahim.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Hajj ayat 37:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ
“Daging-daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kalian…”
Ibn Katsir dalam tafsirnya menegaskan, ibadah kurban bukan soal materi. Allah tidak memerlukan daging atau darah. Yang Dia kehendaki adalah ketulusan, ketundukan, dan ketakwaan dari hamba-Nya.
Meneladani Ibrahim: Ibadah, Bukan Sekadar Ritual
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menjadi tonggak utama pemaknaan kurban. Ketika Ibrahim menerima perintah untuk menyembelih putranya, ia tidak menggugat, tetapi berdialog penuh kelembutan:
“Wahai anakku, bagaimana pendapatmu?” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Ismail pun menjawab:
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
“Wahai Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”
Dialog itu adalah refleksi ketundukan total keluarga tauhid: Ibrahim, Ismail, dan Hajar. Allah kemudian mengganti Ismail dengan sembelihan agung sebagai bentuk kasih-Nya:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيم
“Dan Kami tebus Ismail dengan sembelihan yang agung.” (QS. Ash-Shaffat: 107)
Imam Ibn al-Qayyim dalam Zād al-Maʿād menulis, kurban disyariatkan sebagai pengingat atas penebusan Ismail dan sebagai teladan jejak iman dalam keluarga Nabi Ibrahim.
Kurban: Menyembelih Nafsu, Menegakkan Tauhid
Kurban bukan seremoni tahunan tanpa makna. Ia merupakan pelatihan spiritual untuk menyembelih sifat kebinatangan dalam diri manusia—seperti ego yang berlebihan, kerakusan, serta cinta dunia yang menyesatkan.
Baca juga, Perempuan Bangsawan yang Memeluk Cahaya: Kisah Shafiyyah binti Huyay, dari Bani Nadhir Menuju Pelukan Islam
Hakikat kurban adalah menyembelih apa pun yang menghalangi manusia dari mendekat kepada Allah. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Kautsar ayat 2:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنْحَرْ
“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.”
Perintah ini mengandung benang merah antara shalat dan kurban: totalitas penghambaan. Shalat menundukkan hati kepada Allah, sementara kurban menundukkan jiwa serta kelekatan terhadap dunia.
Dimensi Sosial: Berkurban untuk Sesama
Dalam konteks sosial, kurban adalah ajaran tentang solidaritas. Daging hewan kurban dibagikan, bukan disimpan. Artinya, keimanan seseorang seharusnya menghadirkan manfaat nyata bagi sesama manusia.

Iduladha menjadi momentum reflektif untuk menyembelih sifat sombong, malas, dan individualistik. Kurban menjadi simbol transformasi diri menuju tauhid, ketulusan, kerja keras, dan kasih sayang kepada sesama.
Seperti ditegaskan Imam Al-Syathibi dalam al-Muwāfaqāt, ibadah kurban adalah bagian dari maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan syariat) yang mencakup:
- Tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa dari cinta dunia),
- Taqarrub ilallāh (pendekatan diri kepada Allah), dan
- Taqwiyat al-ta’āwun (penguatan solidaritas sosial).
Kurban sebagai Revolusi Diri
Di era yang penuh hedonisme dan materialisme, kurban hadir sebagai revolusi spiritual. Ia tidak sekadar menyoal besar kecilnya kambing atau sapi yang disembelih, tetapi sebesar apa pengorbanan kita untuk Allah dan kemanusiaan.
Kurban adalah tentang memberi, bukan hanya memiliki. Tentang keberanian menanggalkan ego pribadi demi kebaikan bersama.
Semoga Allah menerima ibadah kurban kita bukan karena bentuknya, tetapi karena ketakwaan yang menyertainya.
وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Hajj: 37)
Ringkasan materi ini disarikan dari khutbah Iduladha penulis di Perumahan Kradenan Kompleks Dosen Unnes Semarang.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha