Lulus Sekolah, Lalu Hilang dari Radar Dakwah: Refleksi untuk Para Pembina Kader Muda Muhammadiyah

Lulus Sekolah, Lalu Hilang dari Radar Dakwah: Refleksi untuk Para Pembina Kader Muda Muhammadiyah
Oleh: Mohammad Noor Ridhollah (Peserta Sekolah Tabligh PWM Jateng dari Kudus)
PWMJATENG.COM – Setiap tahun, ribuan siswa Muhammadiyah merayakan kelulusan. Mereka melangkah dengan bangga, menggenggam ijazah yang menjadi simbol pencapaian. Namun, setelah euforia kelulusan mereda dan ucapan selamat tak lagi terdengar, tak sedikit dari mereka yang merasa kehilangan pijakan.
Mereka bingung harus melangkah ke mana. Ada yang ingin melanjutkan kuliah namun terbentur biaya. Ada yang ingin bekerja tapi merasa tak punya bekal keterampilan. Sebagian lagi hanya menunggu, menanti keajaiban yang tak kunjung tiba. Di sinilah kita mulai menyaksikan sebuah fenomena yang sering terabaikan: generasi muda yang perlahan tercerabut dari arah hidup, dari gerakan berkemajuan, bahkan dari ruh perjuangan yang dulu membentuk mereka di sekolahan.
Hilang dari Radar Dakwah
Dulu, mereka adalah wajah-wajah aktif di IPM, Tapak Suci, Hizbul Wathan, atau majelis taklim remaja Muhammadiyah. Namun, setelah lulus, seolah tak ada lagi yang menuntun. Tak ada sistem yang menyambut fase baru kehidupan mereka. Seakan-akan, begitu mereka melewati gerbang sekolah, Muhammadiyah pun berhenti menyapa.
Padahal, di titik inilah seharusnya dakwah kita berlanjut: membimbing generasi muda menapaki kehidupan nyata dengan panduan Islam berkemajuan. Sayangnya, rantai itu sering terputus. Kader-kader muda kita tumbuh tanpa arah, lalu perlahan terseret arus dunia yang menawarkan segalanya, tanpa nilai, tanpa panduan, tanpa visi perjuangan.
Sistem Pembinaan yang Terputus
Masalah ini bukan semata tentang anak muda yang kehilangan arah, melainkan sistem pembinaan yang kehilangan kesinambungan. Kita berhasil melahirkan sekolah-sekolah berkualitas, namun belum sepenuhnya menyiapkan “ekosistem kehidupan” pasca-sekolah. Kita memiliki ribuan guru dan dai, tapi belum memiliki sistem pembinaan karier, mental, dan spiritual yang komprehensif bagi para lulusan muda.
Baca juga, Aplikasi Al-Qur’an Muhammadiyah (Qur’anMu)
Sementara itu, dunia terus berputar dengan cepat. Nilai-nilai yang telah lama melekat dipertanyakan, dan ruang digital menjadi medan pengaruh baru yang tak terhindarkan. Anak muda mencari makna hidup, namun yang sering mereka temukan justru hiruk-pikuk dunia maya, bukan komunitas iman yang hidup dan menguatkan.
Muhammadiyah memang tak kekurangan lembaga, namun kita mungkin kekurangan jembatan yang menghubungkan pendidikan dengan realitas kehidupan. Kita terlalu fokus mendidik untuk ujian, tapi lupa membimbing mereka menghadapi kenyataan dalam kehidupan yang lebih luas.
Dari Sekolah ke Kehidupan Nyata: Dakwah yang Berkesinambungan
Sudah saatnya Muhammadiyah membangun sistem dakwah yang berkelanjutan, dari bangku sekolah hingga gerbang dunia kerja, dari ranah belajar ke ranah kehidupan.
Bayangkan jika setiap sekolah Muhammadiyah memiliki:
- Pusat Bimbingan Pasca Kelulusan – yang secara proaktif membantu siswa menemukan arah hidup dan mengembangkan keterampilan relevan.
- Komunitas Dakwah Anak Muda – yang menjadi ruang tumbuh spiritual dan sosial yang dinamis setelah mereka lulus.
- Program Karier Islami dan Wirausaha Sosial – yang membekali mereka agar bisa hidup mandiri tanpa tercerabut dari nilai-nilai Islam.
- Mentor Kehidupan —bukan hanya guru, tapi sosok penuntun yang menemani proses mereka menjadi dewasa dalam iman dan taqwa.
Inilah esensi dakwah yang sesungguhnya: bukan sekadar mengajarkan ayat, tapi membimbing manusia menghidupkan ayat-ayat itu dalam hidup keseharian.
Membangun Generasi yang Tumbuh Secara Utuh
Anak muda hari ini tidak menolak Islam; mereka hanya belum menemukan Islam yang membimbing mereka menghadapi realitas di lapangan. Mereka tidak menolak Muhammadiyah; mereka hanya belum merasakan kehadiran Muhammadiyah dalam kehidupan mereka setelah kelulusan.
Jika kita tidak menuntun mereka, dunia lain akan mengambil alih peran itu. Dan ketika generasi muda mulai menjauh, jangan terburu-buru menyalahkan mereka. Barangkali, kitalah yang lebih dulu abai dan meninggalkan mereka.
Gerakan dakwah Muhammadiyah harus kembali ke akarnya: membangun manusia seutuhnya. Bukan hanya mencerdaskan pikiran di sekolah, tapi juga menumbuhkan arah hidup setelah sekolah. Karena dakwah bukan sekadar ceramah, tapi kehadiran yang menuntun manusia menemukan makna hidupnya.
Saat sekolah selesai, kehidupan yang sebenarnya baru akan dimulai. Dan di sanalah seharusnya Muhammadiyah hadir—sebagai rumah yang membimbing, bukan sekadar lembaga yang melepas banyaknya lulusan.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha



