Krisis Empati dan Luka Sosial: Pandangan Dosen UNIMMA atas Tragedi Sibolga

PWMJATENG.COM, MAGELANG – Duka menyelimuti Kota Sibolga, Sumatera Utara. Pada Rabu (30/10) lalu, suasana damai di Masjid Agung Sibolga mendadak pecah oleh peristiwa tragis: Arjun Tamaraya (21), seorang pemuda yang tengah beristirahat di area masjid, dianiaya hingga tewas oleh sekelompok orang.
Tragedi ini bukan sekadar kabar duka, namun menjadi tamparan bagi nurani sosial — sebab terjadi di rumah ibadah yang semestinya menjadi tempat paling aman dan suci.
Menanggapi hal tersebut, Ns. Muhammad Khoirul Amin, M.Kep., Sp.Kep.J., Dosen Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes UNIMMA), memberikan pandangan dari sisi kesehatan jiwa masyarakat.
Dosen yang akrab disapa Irul itu menilai bahwa insiden tersebut mencerminkan adanya krisis empati dan lemahnya pengendalian emosi sosial di lingkungan masyarakat.
“Tragedi di Masjid Agung Sibolga bukan hanya menorehkan luka bagi keluarga korban, tapi juga mengguncang rasa aman masyarakat luas,” ujarnya.
Menurutnya, kekerasan seperti ini sering terjadi karena hilangnya kemampuan seseorang untuk berempati.
“Saat seseorang kehilangan kemampuan untuk menempatkan diri di posisi orang lain, batas antara tindakan benar dan salah bisa kabur. Kekerasan menjadi reaksi spontan yang seolah wajar, padahal menunjukkan kemunduran moral dan kesehatan jiwa kolektif,” jelasnya.
Irul menekankan pentingnya pendidikan emosional dan literasi kesehatan jiwa di berbagai lapisan masyarakat, tidak hanya di lembaga pendidikan tetapi juga di keluarga, komunitas keagamaan, dan ruang publik.
“Menumbuhkan empati, kesabaran, serta kemampuan mengelola amarah adalah bagian dari kesehatan jiwa sosial yang sering terlupakan,” tuturnya.
baca juga:
Ia juga mengingatkan bahwa tempat ibadah sejatinya merupakan ruang penyembuhan jiwa dan simbol kedamaian.
“Masjid, gereja, vihara, pura — semua tempat ibadah semestinya menjadi ruang penyembuhan jiwa. Ketika di tempat seperti itu justru terjadi kekerasan, maka luka yang muncul bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual,” tambahnya.
Irul berpesan agar tragedi Sibolga dijadikan peringatan bersama untuk menjaga kewarasan sosial.
“Kekerasan, di mana pun terjadi, adalah tanda bahwa ada yang salah dengan kesehatan jiwa sosial kita. Masyarakat yang sehat bukan hanya yang bebas dari penyakit, tetapi yang mampu mengelola emosi, menolak kekerasan, dan menghidupkan empati di setiap ruang interaksi,” pungkasnya.
Melalui peran para akademisi, UNIMMA terus berkomitmen menjadi kampus berkemajuan yang menghadirkan solusi dan pencerahan atas berbagai persoalan sosial di tengah masyarakat.
Koordinator: (Humas UNIMMA)
Editor: Al-Afasy



