Ketimpangan Gender dalam Akses Pembiayaan Syariah dan Letak Masalahnya

Ketimpangan Gender dalam Akses Pembiayaan Syariah dan Letak Masalahnya
Oleh : Rifka Putri Ramadhanty (Mahasiswa S2 Ekonomi Islam Universitas Airlangga)
PWMJATENG.COM – Ekonomi syariah sering dipromosikan sebagai sistem keuangan yang adil, transparan, dan inklusif bagi seluruh masyarakat. Namun dalam kenyataannya, ketimpangan gender dalam akses pembiayaan syariah masih menjadi masalah yang cukup serius. Banyak perempuan pelaku usaha mikro dan kecil yang justru mendominasi sektor tersebut masih menghadapi kesulitan mendapatkan modal dari lembaga keuangan syariah. Pertanyaan yang muncul adalah di mana letak masalah yang menghambat akses ini.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi adalah hambatan struktural dan budaya. Di banyak komunitas, pengambilan keputusan finansial masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan sering dianggap kurang cakap dalam mengelola modal atau dinilai lebih berisiko dalam mengatur pembiayaan (UN Women 2022). Padahal data Kementerian Koperasi dan UKM 2023 menunjukkan bahwa 64,5 persen UMKM di Indonesia dijalankan oleh perempuan dengan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Stigma semacam ini membuat peluang perempuan dalam mendapatkan pembiayaan syariah menjadi lebih kecil dibandingkan laki-laki.
Selain itu, tingkat literasi keuangan syariah perempuan juga masih rendah. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan OJK 2022, literasi keuangan syariah perempuan hanya mencapai 8,93 persen sedangkan laki-laki mencapai 11,43 persen. Rendahnya pemahaman tentang produk seperti murabahah, mudharabah, atau ijarah membuat banyak perempuan ragu memanfaatkan pembiayaan atau bahkan tidak mengetahui prosedur yang harus ditempuh. Akibatnya mereka lebih sering mengandalkan tabungan pribadi atau modal informal daripada memanfaatkan layanan keuangan syariah formal.
Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah persyaratan administrasi yang belum sepenuhnya ramah gender. Banyak lembaga keuangan syariah yang masih mengharuskan adanya agunan fisik seperti sertifikat tanah atau BPKB kendaraan. Sementara itu, menurut data OJK 2023 lebih dari 60 persen perempuan pelaku usaha mikro tidak memiliki aset atas nama mereka sendiri. Kondisi ini menjadi penghalang besar bagi perempuan yang ingin mengembangkan usaha melalui pembiayaan syariah.
Baca juga, Hasan Asyari: Meneladani Rasulullah sebagai Bentuk Cinta
Minimnya data yang terpilah berdasarkan gender dalam laporan keuangan syariah juga menjadi persoalan tersendiri. Tanpa data yang rinci, pemerintah dan lembaga keuangan sulit merancang kebijakan afirmatif yang tepat sasaran. Padahal data tersebut sangat penting untuk mengidentifikasi sektor mana yang membutuhkan intervensi sekaligus mengevaluasi dampak program pembiayaan terhadap pemberdayaan perempuan.
Untuk mengatasi ketimpangan ini dibutuhkan pendekatan yang menyeluruh dan berbasis pada nilai keadilan sosial sebagaimana yang diajarkan dalam ekonomi Islam. Lembaga keuangan syariah dapat mengembangkan produk pembiayaan yang lebih inklusif seperti pembiayaan tanpa agunan bagi usaha mikro perempuan, margin yang kompetitif, atau program kemitraan berbasis komunitas. Pemerintah dan lembaga terkait juga perlu meningkatkan literasi keuangan syariah perempuan secara berkelanjutan melalui pendampingan usaha yang sistematis.
Kebijakan afirmatif yang responsif gender juga menjadi kunci penting dalam pembiayaan syariah. Misalnya dengan menetapkan target inklusi perempuan, memberikan insentif kepada lembaga keuangan yang berhasil menyalurkan pembiayaan kepada sektor perempuan, serta memperkuat regulasi yang memastikan kesetaraan akses bagi perempuan dan laki-laki.
Prinsip dasar ekonomi Islam menekankan keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan bersama atau maslahah. Ketimpangan yang terjadi saat ini jelas belum mencerminkan nilai-nilai tersebut. Ekonomi syariah seharusnya menjadi sarana pemberdayaan bukan penghalang bagi perempuan yang ingin berkontribusi lebih besar dalam pembangunan ekonomi.
Jika akses pembiayaan syariah dapat terbuka luas bagi perempuan dampaknya akan sangat signifikan. Pendapatan rumah tangga akan meningkat, usaha mikro akan tumbuh lebih merata, dan perekonomian nasional akan semakin kuat. Data BPS 2023 mencatat bahwa kontribusi UMKM terhadap PDB Indonesia mencapai 60,5 persen dan mayoritas digerakkan oleh perempuan.
Dengan langkah nyata yang melibatkan pemerintah, lembaga keuangan syariah, akademisi, dan masyarakat ekonomi Islam dapat benar-benar menjadi sistem yang adil bukan hanya dalam konsep tetapi juga dalam praktik nyata.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha