Ketika Parenting Jadi Ajang Pamer di Media Sosial

Ketika Parenting Jadi Ajang Pamer di Media Sosial
Oleh : Dr. Elinda Rizkasari., S.Pd., M.Pd. (Dosen prodi PGSD Unisri Surakarta)
PWMJATENG.COM – Di era digital sekarang, hampir setiap momen kehidupan keluarga terekam di layar ponsel. Foto anak baru lahir, video lucu mereka merangkak, hingga prestasi akademik semuanya dibagikan di media sosial. Seolah-olah parenting bukan lagi soal mendidik anak, melainkan panggung untuk menunjukkan diri sebagai orang tua yang sukses. Fenomena ini semakin terlihat di kalangan orang tua muda; alih-alih hanya berbagi kebahagiaan, media sosial kerap menjadi arena “adu parenting”.
Ketika Anak Jadi Konten
Berbagi momen parenting di media sosial memang memiliki sisi positif: inspirasi menu sehat, tips tumbuh-kembang, dan edukasi seputar anak banyak ditemukan berkat unggahan sesama orang tua. Namun, batas antara berbagi dan pamer sangat tipis. Ketika anak yang belum bisa memilih atau memberi persetujuan sering dijadikan “konten”, dua bahaya besar mengintai: privasi anak terabaikan dan beban psikologis yang mulai terbentuk sejak dini.
Psikolog anak Seto Mulyadi (Kak Seto) dalam salah satu webinar parenting tahun 2024 mengingatkan bahwa orang tua harus menyadari anak memiliki hak atas identitas dan privasi digitalnya sendiri. “Apa yang orang tua unggah hari ini, bisa menjadi jejak digital permanen yang memengaruhi harga diri anak di masa depan,” tegasnya. Pandangan ini sejalan dengan banyak psikolog internasional yang menekankan konsep digital footprint sejak dini.
Tekanan Sosial untuk Menjadi Orang Tua Sempurna
Melihat unggahan parenting yang ideal di media sosial sering menimbulkan tekanan sosial. Banyak orang tua jadi merasa “kurang”, seperti mendapati diri bertanya, “Kenapa anakku belum bisa membaca di usia empat tahun?” atau “Kenapa bekal anakku tidak sekreatif itu?” Perasaan inferior seperti ini muncul karena media sosial biasanya hanya menampilkan versi “terbaik” dari realitas.
Praktisi pendidikan anak usia dini, Najeela Shihab, pernah menyoroti fenomena ini. Menurutnya, media sosial sering memicu toxic comparison di antara orang tua. “Alih-alih fokus mendampingi anak sesuai kebutuhan uniknya, orang tua jadi sibuk mengejar standar ilusi yang dibangun dari unggahan media sosial. Akibatnya, anak kehilangan kebebasan untuk berkembang sesuai potensinya,” ujarnya dalam diskusi Parenting Digital Era yang digelar komunitas Keluarga Kita.
Dampak Nyata pada Anak dan Keluarga
Bila tren parenting yang dipamerkan ini dibiarkan berkembang, ada sejumlah konsekuensi nyata yang perlu diwaspadai. Privasi anak menjadi rentan karena foto atau video mereka bisa disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Kehilangan momen autentik juga menjadi risiko, ketika orang tua lebih sibuk mencari sudut foto terbaik daripada benar-benar hadir. Relasi dalam keluarga bisa menjadi dangkal karena fokus teralihkan pada citra di media sosial. Bahkan, tekanan berlebih bisa dirasakan anak, yang merasa harus selalu tampil sempurna demi “citra” orang tua di dunia maya.
Baca juga, Menjaga Harmoni dengan Tetangga: Akhlak Sosial yang Diajarkan Nabi
Peneliti komunikasi digital Universitas Indonesia, Dr. Widya Kartika, menyebut fenomena ini sebagai bentuk “commodification of childhood” atau komodifikasi masa kecil. “Ketika setiap prestasi dan keseharian anak direduksi menjadi konten yang bisa ‘dijual’ ke publik, nilai kemanusiaan anak sebagai individu berkurang. Ia berubah menjadi simbol kebanggaan orang tua, bukan pribadi yang tumbuh secara otentik,” jelasnya.
Data Survei: Kenapa Ini Jadi Isu Penting?
Isu ini makin relevan jika kita kaitkan dengan data terbaru. Survei We Are Social 2025 mencatat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 79,5 persen populasi, dengan Generasi Z menyentuh 87 persen. Artinya, hampir separuh anak di bawah 12 tahun sudah bersentuhan dengan media sosial secara langsung maupun tidak langsung.
Lebih dari itu, survei GoodStats YouGov (2025) menunjukkan 82 persen orang tua di Indonesia sudah mengizinkan anaknya mengakses media sosial, tetapi hanya 35 persen yang rutin memantau aktivitas digital anak. TikTok bahkan dinilai sebagai platform paling berisiko, disusul Twitter/X. Fakta ini memperlihatkan bahwa penggunaan media sosial pada keluarga muda sangat masif, sementara kesadaran perlindungan anak masih terbatas.
Kembali ke Esensi Parenting
Parenting bukan kompetisi, melainkan perjalanan panjang penuh cinta dan perhatian. Kehadiran orang tua bukan pencitraan adalah yang paling dibutuhkan anak itu sendiri.
Kesadaran ini bisa dimulai dengan membatasi eksposur anak di dunia maya. Tidak semua momen perlu dipublikasikan. Orang tua juga perlu kembali fokus pada kualitas interaksi. Anak lebih membutuhkan pelukan, perhatian, dan waktu bersama ketimbang like atau komentar. Media sosial tetap bisa digunakan secara sehat, yakni untuk berbagi ilmu dan pengalaman, bukan sebagai ajang pembuktian. Dan yang terpenting, orang tua harus belajar menghargai privasi anak sebagai hak yang melekat sejak lahir.
Penutup
Media sosial memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Namun, sebagai orang tua, kita perlu bijak menempatkan diri. Jangan sampai parenting berubah menjadi ajang pamer yang justru merugikan anak.
Anak bukan konten, bukan pula trofi kebanggaan untuk ditunjukkan ke dunia maya. Mereka adalah individu yang perlu dibimbing dengan penuh cinta, didampingi dengan kehadiran nyata, dan dihargai martabatnya. Pada akhirnya, keberhasilan orang tua bukan ditentukan oleh seberapa viral postingan di Instagram, melainkan seberapa anak merasa dicintai, aman, dan bahagia di dalam keluarga.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha