Kolom

Ketika Organisasi Dianggap Dosa: Hijrah Ustadz Salafi ke Muhammadiyah dan Tuduhan Hizbiyah

Oleh: Irfan Sholahuddin Gozali, S.E., M.E

Fenomena bergabungnya sejumlah ustadz yang sebelumnya dikenal berada di lingkungan Salafi ke Persyarikatan Muhammadiyah bukanlah peristiwa biasa. Ini bukan sekadar urusan administratif berupa kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA) Muhammadiyah, melainkan peristiwa ideologis dan sosiologis dalam peta dakwah Islam Indonesia.

Beberapa nama yang muncul ke ruang publik disertai bukti KTA Muhammadiyah menunjukkan bahwa pilihan tersebut dilakukan secara sadar, terbuka, dan bertanggung jawab. Mereka tidak sekadar hadir sebagai simpatisan, tetapi menjadi anggota resmi Muhammadiyah, siap berkhidmat dan tunduk pada garis perjuangan persyarikatan.

Namun yang patut dicermati adalah respons dari sebagian internal jamaah Salafi terhadap pilihan tersebut. Para ustadz yang memilih bergabung dengan Muhammadiyah justru ditahdzir secara terbuka. Mereka dicap sebagai ahlu syubhat, dituduh duduk bersama ahlul bid’ah, dicap sebagai hizbiyah, bahkan dinyatakan tidak lagi layak direkomendasikan sebagai asatidz Ahlus Sunnah.

Label hizbiyah ini menjadi sangat problematis. Dalam praktiknya, istilah tersebut kerap digunakan bukan untuk menjelaskan penyimpangan akidah, melainkan untuk menghakimi pilihan berorganisasi. Seolah-olah berkhidmat dalam sebuah persyarikatan Islam yang sah, besar, dan telah diakui kontribusinya oleh umat dan negara, otomatis dianggap sebagai penyakit dakwah.

Sebagai kader Muhammadiyah, saya memandang persoalan ini dengan tegas: ini bukan soal akidah, tetapi soal perbedaan manhaj berorganisasi dan metode dakwah.

Muhammadiyah sejak awal berdiri adalah gerakan Islam yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah melalui pendekatan ijtihad, tarjih, dan tajdid. Muhammadiyah bukan sekte, bukan aliran menyimpang, dan bukan kelompok bid’ah. Ia adalah persyarikatan Islam yang telah melahirkan ulama, cendekiawan, serta amal usaha besar di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial kemasyarakatan selama lebih dari satu abad.

Ketika seorang ustadz memilih Muhammadiyah lalu langsung dicap hizbiyah, maka yang sesungguhnya sedang dipertontonkan bukanlah semangat menjaga Sunnah, melainkan fanatisme kelompok yang sempit. Padahal, Rasulullah ﷺ tidak pernah melarang umatnya untuk berjamaah, bekerja sama, dan berorganisasi demi menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Lebih jauh, ada inkonsistensi serius yang perlu disadari. Banyak jama’ah Salafi yang secara lisan menolak organisasi dan melabelinya sebagai hizbiyah, namun dalam praktik justru mendirikan yayasan, lembaga pendidikan, media dakwah, serta institusi sosial yang secara fungsi dan struktur sejatinya adalah organisasi.

Bahkan mereka yang mengklaim “anti-organisasi” pada kenyataannya memiliki ustadz rujukan sendiri, majelis kajian sendiri, kanal dakwah sendiri, standar penilaian sendiri, serta batasan siapa yang boleh dan tidak boleh diikuti. Mereka juga memiliki keseragaman sikap dalam menyikapi isu-isu tertentu dan kekompakan dalam melakukan tahdzir. Semua ini menunjukkan adanya ikatan, loyalitas, dan struktur informal yang bekerja layaknya organisasi—meski tanpa nama, AD/ART, dan pertanggungjawaban terbuka.
Dengan kata lain, yang terjadi bukan ketiadaan organisasi, melainkan organisasi tanpa bentuk. Ia tetap mengikat, tetap mengontrol, dan tetap memberi sanksi sosial. Ironisnya, organisasi formal yang jelas tujuan, struktur, dan pertanggungjawaban dakwahnya justru dituduh sebagai penyakit hizbiyah.

Dalam konteks ini, Muhammadiyah justru tampil jujur dan terbuka. Muhammadiyah tidak bersembunyi di balik klaim “tanpa organisasi”, tetapi hadir sebagai persyarikatan yang jelas arah perjuangannya, jelas kepemimpinannya, dan jelas pertanggungjawaban dakwahnya.

Perbedaan pendapat dikelola melalui musyawarah dan tarjih, bukan tahdzir sepihak. Perbedaan ijtihad dijaga dengan adab, bukan dengan stempel ideologis.

Bagi Muhammadiyah, hijrahnya para ustadz tersebut bukanlah ajang klaim atau kemenangan simbolik, melainkan amanah dakwah. Muhammadiyah tidak membangun dakwah di atas pelabelan dan penghakiman, tetapi di atas ilmu, adab, dan amal nyata yang membumi.

Saya justru melihat fenomena ini sebagai tanda bahwa model dakwah eksklusif, anti-organisasi, dan gemar melabeli mulai dipertanyakan, bahkan oleh orang-orang yang tumbuh di dalamnya.

Muhammadiyah hadir sebagai alternatif dakwah Islam berkemajuan: tegas dalam prinsip, dewasa dalam perbedaan, dan luas dalam pengabdian.
Pada akhirnya, umat Islam tidak membutuhkan lebih banyak cap dan vonis, tetapi lebih banyak solusi. Tidak membutuhkan hizbiyahisasi label, tetapi keteladanan akhlak. Dan tidak membutuhkan tahdzir tanpa ujung, tetapi ukhuwah Islamiyah serta kerja-kerja dakwah yang nyata dan mencerahkan.

Muhammadiyah akan tetap berjalan di jalannya :
Islam yang mencerahkan, mencerdaskan, dan memajukan peradaban.

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE