Berita

Ketika Guru-Guru Muhammadiyah Tak Lagi Bermuhammadiyah

Oleh :
Irfan Sholahuddin Gozali,. S.E,. M.E.

  • Sekretaris Majelis Pembinaan Kader & Sumber Daya Insani (MPKSDI) PDM. Kabupaten Cirebon.
  • Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Sumber
  • Korps Instruktur Kader Muhammadiyah Wilayah Jawa Barat

Salah satu cita-cita besar pendiri Persyarikatan ini sederhana tapi mendalam:
Sekolah dan Kampus Muhammadiyah bukan sekadar tempat belajar, tapi ladang kaderisasi.
Tempat di mana akal ditempa agar cerdas, iman diperkuat agar kokoh, dan amal dilatih agar nyata.

Namun mari kita jujur menatap kenyataan hari ini.
Setiap tahun, jutaan siswa dan mahasiswa menamatkan pendidikannya di sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Kita bangga karena Muhammadiyah telah menjadi jaringan pendidikan Islam modern terbesar di dunia.

Tapi pertanyaan ini harus berani kita jawab:
Berapa banyak dari mereka yang kembali menjadi kader Muhammadiyah?
Berapa banyak yang melanjutkan kiprahnya di Ortom, PRM, PCM, atau PDM?
Berapa banyak yang masih merasa bangga menyebut dirinya anak Muhammadiyah?

Realitanya, jumlah itu amat kecil.
Sebagian besar pergi begitu saja, tanpa ikatan batin dengan Muhammadiyah yang telah mendidiknya.
Sebagian hanya mengenang seragam dan sekolahnya saja, tapi tidak mengenal ruh dan cita dakwahnya.

Maka kita harus bertanya dengan jujur :
Di mana letak masalahnya?
Apakah di kurikulumnya?
Apakah di sistem pembinaannya?
Ataukah justru di hati para pendidiknya?


Ruh yang Mulai Pudar

Muhammadiyah didirikan bukan untuk sekadar membangun sekolah, tetapi untuk menggerakkan umat.
Pendidikan Muhammadiyah bukan bisnis, tapi dakwah yang mencerahkan.
Namun kini, banyak Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) kehilangan ruh itu.

Gedung-gedung megah berdiri, fasilitas lengkap tersedia, dan siswa terus bertambah.
Tapi apakah semangat dakwah dan ideologi Muhammadiyah ikut tumbuh di dalamnya?
Sayangnya, tidak selalu demikian.

Salah satu sebab paling mendasar:
Guru, dosen, dan karyawan AUM banyak yang belum Bermuhammadiyah.

Mereka bekerja di lembaga Muhammadiyah, tapi tidak hidup dengan nilai-nilai Muhammadiyah.
Mengajar di sekolah Muhammadiyah, tapi tidak memahami apa itu tajdid.
Digaji oleh lembaga Muhammadiyah, tapi tak pernah hadir dalam pengajian PRM atau PCM.

Padahal, guru adalah teladan.
Siswa meniru bukan dari kata-kata, tapi dari perilaku.
Jika guru tak pernah ke pengajian, murid akan menganggap agama hanya teori.
Jika dosen tak pernah bicara dakwah, mahasiswa akan tumbuh tanpa semangat dakwah.


Mengajar atau Menggerakkan?

Menjadi guru Muhammadiyah seharusnya tidak sekadar profesi. Itu amanah dakwah.
Namun kini, banyak guru datang hanya untuk mengajar, pulang tanpa meninggalkan jejak ruh perjuangan.

Padahal di masa awal, guru-guru Muhammadiyah hidupnya penuh semangat juang.
Mereka mengajar di pagi hari, berdakwah di sore hari, dan tabligh di malam hari.
Mereka hadir dalam musyawarah ranting, memimpin pengajian, dan membina jamaah.
Mereka sadar, setiap murid adalah calon penerus Persyarikatan.

Kini, banyak guru yang bekerja di AUM tapi tidak aktif di Muhammadiyah.
Kelas tetap berjalan, tapi kehilangan ruh amar ma’ruf.
Sekolah tetap ramai, tapi kehilangan semangat tajdid.
Anak-anak tetap cerdas, tapi tidak punya arah perjuangan.

Maka, mari kita jujur bertanya kepada diri sendiri:

“Apakah aku hanya bekerja di Amal Usaha Muhammadiyah, atau sungguh-sungguh berjuang di Muhammadiyah?”

Perbedaannya sangat besar.
Yang pertama hanya mencari nafkah.
Yang kedua menghidupkan dakwah.
Yang pertama datang karena kewajiban pekerjaan.
Yang kedua datang karena panggilan iman.


Kader Lahir dari Keteladanan

Sebagus apapun sistem kaderisasi, semuanya akan gagal tanpa keteladanan.
Kader tidak lahir dari ceramah, tetapi dari contoh.

Ketika siswa melihat gurunya disiplin dan jujur, ia belajar tentang Islam tanpa harus diajari.
Ketika mahasiswa melihat dosennya amanah dan sederhana, ia belajar tentang dakwah tanpa kata.
Ketika karyawan melihat pimpinannya bekerja tulus, ia belajar tentang pengabdian sejati.

Ruh Muhammadiyah tidak hidup dalam pidato panjang, tapi dalam tindakan nyata.
Itulah yang membedakan sekolah Muhammadiyah dulu dengan sekarang.
Dulu, guru bukan hanya mengajar, tapi menanamkan ideologi dan membentuk akhlak.
Kini, sebagian hanya fokus mengajar, lupa menggerakkan.


Kembalikan Ruh Itu

Muhammadiyah bukan sekadar nama di papan sekolah.
Ia adalah ruh gerakan, nilai hidup, dan jalan pengabdian.
Sekolah Muhammadiyah seharusnya menjadi pusat pembentukan akhlak dan akidah, bukan sekadar tempat mengejar ijazah.
Guru Muhammadiyah seharusnya menjadi kader Persyarikatan, bukan hanya pegawai lembaga.
Kepala sekolah dan rektor seharusnya menjadi penggerak jamaah, bukan hanya administrator.

Maka, langkah nyata harus dimulai:

  1. Guru dan dosen wajib menjadi anggota Muhammadiyah.
    Jangan hanya bekerja di AUM tanpa menjadi bagian dari Persyarikatan. Miliki KTA, hadiri pengajian, pahami ideologi.
  2. Hidupkan budaya jamaah di sekolah dan kampus.
    Shalat berjamaah, pengajian rutin, dan kegiatan sosial adalah napas dakwah kita.
  3. Libatkan siswa dan mahasiswa dalam gerakan Muhammadiyah.
    Bangun semangat khidmat melalui IPM, IMM, Tapak Suci, dan Hizbul Wathan.
  4. Pimpinan AUM harus aktif di struktur Muhammadiyah.
    Jadilah penggerak, bukan hanya pengelola.

Penutup: Ruh yang Menyala dari Keteladanan

Sejarah mencatat, Muhammadiyah tidak tumbuh karena banyaknya harta, tapi karena banyaknya hati yang ikhlas.
Bukan karena fasilitas, tapi karena militansi.
Bukan karena jabatan, tapi karena keteladanan.

Kini, tugas kita bukan sekadar menjaga nama Muhammadiyah, tapi menjaga ruhnya.
Ruh yang dulu membakar semangat KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah.
Ruh yang membuat para guru rela berkorban tanpa pamrih demi dakwah Islam berkemajuan.

Maka, marilah kita bertanya pada diri sendiri dengan hati yang jernih:

Apakah kita hari ini hanya bekerja untuk Muhammadiyah, atau benar-benar berjuang di Muhammadiyah?

Karena yang pertama hanya mencari nafkah,
tapi yang kedua menghidupkan dakwah dan membangun peradaban.

Dan ingatlah selalu:
Kader tidak lahir dari ceramah, tetapi dari keteladanan.
Dan keteladanan itu bermula dari guru-guru yang benar-benar Bermuhammadiyah.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE