Ketika Agama Menjadi Panggung Kekuasaan: Kesalehan Simbolik, Ulama yang Bungkam, dan Hilangnya Suara Kritis di Ruang Publik
Oleh: Nashrul Mu’minin
Agama sejak awal hadir sebagai sumber nilai, etika, dan kritik moral terhadap ketidakadilan. Dalam sejarahnya, agama berdiri di sisi yang lemah, menegur kekuasaan yang zalim, dan membela martabat manusia. Namun dalam konteks mutakhir, terutama di ruang politik dan media, agama kerap direduksi menjadi sekadar ornamen legitimasi kekuasaan. Ia tampil indah di panggung seremonial, tetapi kehilangan daya kritisnya di ruang realitas sosial.
Fenomena ini tampak jelas ketika ceramah, simbol keagamaan, dan narasi religius digunakan untuk membenarkan kebijakan negara tanpa ruang kritik. Ayat dan dalil diseleksi secara pragmatis untuk mendukung keputusan penguasa, sementara aspek etik dan keadilan sosial yang menjadi inti ajaran agama justru terpinggirkan. Agama tidak lagi menjadi suara nurani publik, melainkan alat penenang dan pembenaran.
Dalam kondisi demikian, publik mulai mempertanyakan keotentikan peran agama. Ketika kebijakan yang berdampak pada ketimpangan, kemiskinan, dan marginalisasi dilegitimasi dengan bahasa religius, muncul kecurigaan bahwa agama telah “dipinjam” oleh kekuasaan. Kritik terhadap negara lalu dianggap sebagai kritik terhadap agama, sebuah kekeliruan logis yang berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan berpikir.
Gejala lain yang menguat adalah apa yang sering disebut sebagai “religius di layar, kosong di realitas”. Media sosial dipenuhi simbol kesalehan: kutipan ayat, busana religius, dan retorika moral. Namun pada saat yang sama, praktik korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan ketidakadilan struktural tetap berlangsung. Kesalehan tampil sebagai citra, bukan sebagai komitmen etis.
Kesalehan simbolik ini berfungsi sebagai tameng moral. Ia menciptakan ilusi bahwa masyarakat atau penguasa sedang berada di jalan yang benar, padahal realitas sosial menunjukkan sebaliknya. Dalam situasi ini, agama kehilangan fungsinya sebagai kekuatan transformasi dan justru berpotensi menjadi alat normalisasi ketimpangan.
Masalah menjadi semakin serius ketika sebagian ulama dan cendekiawan agama memilih sikap aman. Kedekatan dengan kekuasaan membuat kritik menjadi tumpul atau bahkan absen sama sekali. Padahal dalam tradisi intelektual dan keagamaan, ulama memiliki mandat moral untuk menyampaikan kebenaran, meski pahit dan berisiko.
Sikap diam atau kompromistis ini memunculkan kekecewaan publik. Ulama yang seharusnya menjadi penyangga moral justru dianggap menjadi bagian dari struktur kekuasaan. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap otoritas keagamaan ikut tergerus, dan agama semakin dipandang sebagai instrumen politik, bukan sebagai sumber pencerahan.
Dalam konteks ini, penting ditegaskan bahwa bersikap kritis terhadap kekuasaan bukanlah tindakan antiagama. Justru sebaliknya, kritik terhadap ketidakadilan adalah manifestasi dari nilai-nilai keagamaan itu sendiri. Agama yang sehat adalah agama yang berani menegur, bukan agama yang hanya memuji.
Agama memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan emansipatoris. Ia mampu membangkitkan kesadaran sosial, membela kaum tertindas, dan menantang struktur yang tidak adil. Namun potensi ini hanya akan terwujud jika agama dibebaskan dari cengkeraman kepentingan politik jangka pendek.
Ulama dan cendekiawan dituntut untuk kembali pada peran profetiknya. Suara mereka dibutuhkan bukan untuk mengamankan kekuasaan, tetapi untuk mengingatkan batas-batas moral kekuasaan. Keberpihakan pada keadilan sosial harus lebih utama daripada kedekatan dengan elit politik.
Di era media digital, tantangan ini semakin kompleks. Popularitas dan viralitas sering kali lebih dihargai daripada integritas. Namun justru di sinilah diperlukan keberanian moral untuk tidak larut dalam arus pencitraan religius yang dangkal.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga fungsi kritis agama. Publik perlu bersikap lebih reflektif, tidak mudah terpesona oleh simbol, dan berani mempertanyakan konsistensi antara ujaran religius dan praktik nyata. Kesalehan sejati selalu memiliki implikasi sosial.
Jika agama terus dibiarkan menjadi alat legitimasi kekuasaan, maka ia berisiko kehilangan relevansinya. Agama akan dipandang sekadar sebagai ritual dan simbol, bukan sebagai sumber nilai yang hidup. Ini bukan hanya kerugian bagi agama, tetapi juga bagi kehidupan berbangsa.
Oleh karena itu, perlu ada upaya kolektif untuk mengembalikan agama ke fungsi etik dan kritisnya. Agama harus kembali menjadi cahaya yang menerangi jalan keadilan, bukan lampu sorot yang hanya memperindah panggung kekuasaan.
Pada akhirnya, masa depan agama di ruang publik sangat ditentukan oleh keberanian moral para pemeluk dan pemimpinnya. Apakah agama akan terus menjadi alat legitimasi, atau kembali menjadi suara kebenaran, adalah pilihan etis yang tidak bisa dihindari.
Referensi:
Asad, T. (2003). Formations of the Secular: Christianity, Islam, Modernity. Stanford: Stanford University Press.
Berger, P. L. (1967). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. New York: Anchor Books.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers.
Habermas, J. (2006). Religion in the Public Sphere. European Journal of Philosophy, 14(1), 1–25.
Madjid, N. (1997). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.



