Ketergantungan pada Figur Kharismatik: Antara Berkah dan Belenggu

PWMJATENG.COM, Di banyak ranting Muhammadiyah, roda organisasi sering berputar di sekitar satu nama—sosok yang paling disegani, paling paham, dan paling diandalkan. Dialah yang menjadi jantung kegiatan: menggerakkan, menengahi, dan menginspirasi. Tanpanya, rapat terasa datar, pengajian kehilangan makna, dan semangat kader seolah ikut padam.
Sosok seperti ini tentu merupakan karunia. Dalam setiap gerakan, selalu ada pribadi dengan karisma yang mampu menyatukan banyak kepala dan menghidupkan suasana dakwah. Namun di balik anugerah itu, tersimpan sisi lain: ketika ranting terlalu bergantung pada satu tokoh, organisasi berhenti menjadi sistem dan berubah menjadi bayangan seseorang.
Idealnya, kehidupan organisasi bertumpu pada nilai dan tata kelola, bukan pada figur. Namun di lapangan, banyak ranting baru bergerak bila “beliau” hadir, baru berani memutuskan bila “beliau” menyetujui, dan baru semangat bila “beliau” berbicara.
Begitu sang tokoh menepi—karena usia, kesehatan, atau takdir lainnya—ranting pun meredup. Pengurus bingung menentukan arah karena jamaah kehilangan pusat gravitasi. Seolah seluruh ruh gerakan tersimpan hanya pada satu orang.
baca juga:
Padahal Muhammadiyah berdiri bukan karena tokoh, tetapi karena sistem. Prinsip kolektif-kolegial bukan sekadar kalimat dalam AD/ART, melainkan cara hidup organisasi. Ia menegaskan bahwa kebenaran tidak dimonopoli seseorang, dan kepemimpinan tak boleh bergantung pada pesona individu.
Kharisma bisa menggerakkan, tapi juga membekukan. Sosok yang terlalu disegani sering menjadi pusat gravitasi yang begitu kuat, hingga ide-ide baru sulit keluar dari orbitnya.
Banyak kader muda merasa “belum pantas” tampil karena khawatir dibandingkan dengan sang tokoh. Padahal, pemimpin sejati bukanlah yang banyak pengikutnya, tetapi yang mampu melahirkan pemimpin hebat lainnya.
Figur kharismatik seharusnya menyalakan semangat, bukan menaungi selamanya. Ia menumbuhkan keberanian, bukan ketundukan. Ia menanam nilai, bukan ketakutan. Kharisma sejati justru diukur dari berapa banyak kader yang tumbuh setelah ia tak lagi di panggung.
Ranting yang kuat bukan yang dipimpin oleh tokoh besar, melainkan yang memiliki sistem hidup. Di dalamnya ada kader siap memikul tanggung jawab, budaya musyawarah yang dijaga, dan kesadaran bahwa kepemimpinan hanyalah amanah bergilir.
Figur boleh pergi, tetapi nilai perjuangan harus tetap berjalan. Nilai itu hanya akan hidup bila dikemas dalam sistem yang terpelihara.
Ketika ranting mampu berjalan tanpa menunggu satu sosok, di situlah kematangan sejati terlihat. Sebab yang abadi bukanlah karisma seseorang, melainkan semangat kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kharisma boleh menjadi pemantik, tetapi sistemlah yang menjaga api tetap menyala. Selama ranting masih hidup hanya karena satu orang, sejatinya ranting itu sedang menunggu kematian. Namun bila ranting tetap hidup meski sang tokoh telah tiada, di sanalah ruh Muhammadiyah benar-benar bersemi—bukan bergantung pada figur, tetapi pada nilai yang terus hidup, tumbuh, dan mencerahkan.
Koordinator: Mohammad Noor Ridhollah
Editor: Al-Afasy



