AUMBerita

Kenali Rahasia Budaya Pakaian: Kolokium Internasional UMS Ungkap Perbedaan Indonesia dan Jepang!

PWMJATENG.COM, Surakarta – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) baru-baru ini menyelenggarakan Kolokium Internasional bertajuk “Clothing as Self-Expression and Cultural Identity in Indonesia and Japan” di Ruang Rapat BPH UMS. Acara ini menampilkan tiga pakar terkemuka yang membahas perbedaan signifikan dalam representasi pakaian sebagai identitas budaya di Indonesia dan Jepang.

Pada Jumat (13/9), kolokium ini diisi oleh Momo Shioya, seorang ahli antropologi dari University of Shimane, Jepang; Sahid Teguh Widodo, Ketua PUI Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS); serta Yayah Khisbiyah, dosen Fakultas Psikologi dan Direktur Eksekutif PSBPS UMS.

Momo Shioya menjelaskan bahwa pakaian tradisional di Indonesia, seperti batik dan kebaya, tidak hanya berfungsi sebagai busana, melainkan juga sebagai simbol identitas sosial dan budaya yang mendalam. Sebaliknya, di Jepang, kimono yang dulunya merupakan pakaian sehari-hari kini hanya dikenakan pada acara-acara khusus seperti pernikahan atau ritual budaya.

Shioya menyoroti fenomena “Kimono Police” di Jepang, sekelompok orang yang secara sukarela menegur mereka yang dianggap salah dalam mengenakan kimono. “Di Jepang, ada banyak aturan ketat mengenai cara memakai kimono, mulai dari pelipatan kain, jenis motif yang sesuai, hingga cara mengikat obi (sabuk kimono). Pelanggaran terhadap aturan ini sering kali mengundang teguran dari ‘Kimono Police’,” jelas Shioya.

Menurutnya, aturan-aturan ketat ini membuat generasi muda Jepang enggan memakai kimono dalam kehidupan sehari-hari karena takut dianggap melanggar etiket.

Sahid Teguh Widodo memaparkan tentang busana tradisional Keraton Kasunanan Surakarta. Ia menyatakan bahwa busana adat Jawa, terutama di keraton, mencerminkan nilai-nilai budaya dan estetika yang diwariskan turun-temurun. Busana ini, seperti dodotan dan kemben, tidak hanya sebagai pakaian tetapi juga simbol status sosial dan keagamaan.

Baca juga, Raja Jawa dalam Perkembangan Islam di Nusantara

“Busana keraton memiliki makna yang mendalam baik dari segi estetika maupun spiritual. Meskipun terkesan ‘terbuka’ menurut standar modern, pada masanya busana ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam karena digunakan dalam lingkungan kraton dan di hadapan sesama wanita atau keluarga dekat,” ungkap Widodo.

Di sisi lain, Yayah Khisbiyah menawarkan perspektif psikologi sosial tentang pakaian, menekankan perannya dalam representasi diri dan konformitas sosial. Ia menjelaskan bahwa pakaian, terutama seragam seperti ASN dan militer, tidak hanya sebagai pakaian kerja, tetapi juga sebagai simbol otoritas dan kepatuhan.

“Seragam mencerminkan otoritas dan konformitas. Dalam konteks ASN dan militer, seragam menciptakan deindividuasi, di mana identitas pribadi menjadi kabur dan digantikan oleh identitas kelompok,” jelas Yayah.

Diskusi ini dihadiri oleh sekitar 40 peserta dari berbagai institusi, termasuk Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Sebelas Maret, STKIP PGRI Pacitan, Universitas Gadjah Mada, serta mahasiswa internasional dan perwakilan sektor ekonomi. Yayah menambahkan bahwa kolokium ini merupakan langkah awal untuk membuka peluang kerjasama akademik antara UMS dan University of Shimane, Jepang, yang diharapkan dapat memperkuat hubungan lintas-budaya dan penelitian akademik di kedua institusi.

Kontributor : Maysali
Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE