KELUARGA CEMARA
Oleh Hayati Nufus, MIM Bloran Kerjo, Karanganyar
Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga.….
Penggalan lagu di atas membuka kembali memori tentang episode kehidupan yang telah kita lalui dalam sebuah keluarga. Manis maupun pahit kisahnya selalu mengundang kerinduan pada suatu masa dimana kita belum menjadi siapa-siapa, kerinduan pada momen awal kita lahir, tumbuh dan berkembang dalam hangatnya dekapan keluarga seakan menjadi sejarah yang tidak terlupakan.
Bait-bait lirik lagu sound track sinetron keluarga cemara di atas yang tayang di era 90-an bercerita tentang sebuah keluarga sederhana namun bahagia dinahkodai oleh Abah seorang ayah yang sangat mengayomi keluarga beserta Emak seorang istri penyabar dan kehadiran tiga buah hati yang santun Euis, Ara dan Agil. Sinetron Keluarga Cemara merupakan serial televisi populer yang sangat digemari pemirsa Indonesia pada masa itu dengan sukses meramu unsur entertaimen dan edukasi dalam setiap episodenya menjadi tontonan yang sangat menarik. Kemasan cerita yang bagus dipadukan dengan kekuatan karakter para pemainnya membuat sinetron tersebut berhasil menaklukan hati pemirsa Indonesia.
Menonton sinetron Keluarga Cemara membuat emosi kita mudah larut dan ikut merasakan pengalaman batin para pemainnya seperti rasa gembira, haru, jenaka dll. Keluarga Cemara adalah salah satu model keluarga harmonis dengan cita rasa Indonesia.
Melihat Keharmonisan sebuah keluarga mudah sekali mendatangkan rasa kagum, haru, dan cemburu karena tidak semua orang beruntung dianugerahi keluarga harmonis dan bahagia.
Keluarga adalah unit terkecil sebuah bangsa dan negara. Bila komponen keluarga terbangun dengan harmonis dan kokoh maka jayalah bangsa dan negara. Sebaliknya bila komponen keluarga rusak (broken home), tercerai berai maka goyahlah bangsa dan runtuhlah negara.
Data BKKBN menginformasikan tahun 2013 angka perceraian di Indonesia menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Tren perceraian dari tahun ke tahun semakin meningkat dan mencapai 16-20 persen terhitung sejak tahun 2009 hingga 2016. Data tersebut tentu sangat mengkhawatirkan di tengah upaya keras membangun bangsa yang kokoh dan berperadaban.
Banyak faktor menjadi pemicu kegagalan sebuah keluarga dan berujung pada perceraian. Menurut penulis penyebab runtuhnya institusi keluarga diawali dari sebuah rumah yang tidak lagi menjadi tempat bagi para penghuninya untuk berkomitmen merajut tali cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rohmah) walaupun secara fisik mereka tinggal bersama di bawah satu atap. A house is not a home (rumah yang tidak menjadi rumah) meminjam sebuah frase dari sebuah judul lagu mungkin cukup tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi rumah yang sudah kehilangan cinta dan kehangatan di dalamnya sehingga tidak memiliki daya perekat untuk melekatkan jiwa masing-masing penghuninya. Agak sulit membedakan terjemahan ‘a house’ dan a home’ dalam pembendaharaan kosa kata kita karena keduanya diartikan ‘rumah’. Kalau kita amati keduanya memiliki penggunaan dan arti berbeda. A house merujuk pada bangunan fisik tempat tinggal seseorang sedangkan a home merujuk pada tempat dimana seseorang merasa nyaman dan bahagia sehingga selalu rindu untuk kembali dan kembali lagi.
A home lebih berkaitan dengan kebutuhan emosi dan spiritual yang terpenuhi. Sebuah pribahasa menarik ditulis oleh mantàn presiden Amerika Benjamin Franklin memberi gambaran lebih utuh tentang pengertian a home: ” a house is not a home unless it contains food and fire the mind as well as the body” (rumah belum menjadi rumah sebelum menyediakan berbagai kebutuhan untuk pikiran seperti layaknya rumah tinggal yang menyediakan makanan, penghangat dan lain-lain untuk kesehatan tubuh). Ringkasnya konstruksi bangunan keluarga akan menjadi kokoh bila kebutuhan rumah fisik maupun rumah rohani bisa terpenuhi secara proposional. Mewah maupun sederhana fisik bangunan sebuah rumah bukanlah ukuran kokoh dan bahagianya sebuah keluarga melainkan cinta, perhatian dan kehangatan dalam rumahlah yang akan memberi makna pada penampilan fisik.
a house is made of walls and beams but a home is buillt with love and dreams
Ketika menceritakan tentang keluarganya Rosulullah saw. mengartikulasikan dengan kata jannah ‘bayti jannati’ (rumahku adalah surgaku) sabda Rosul. Jannah berasal dari kata fiil madhi janna-janana pada mulanya berarti tertutup dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Perkembangan dari kata janna terbentuk kata jin yaitu mahluk halus yang tidak terindera oleh manusia kemudian janin berarti calon bayi di dalam rahim wanita. Kebun dinamakan jannah karena ia tertutup oleh rimbunnya tumbuh-tumbuhan dan menghalangi pandangan mata manusia. Ungkapan cerdas dari seorang Rosul mulia tentang keharmonisan keluarganya dengan kata jannah yang berarti kebun. Bagi orang Arab yang hidup di dataran berbatu, berpasir dan matahari yang terik tidak ada yang lebih diangankan dalam hidupnya selain kenikmatan rimbunan pohon yang sejuk dalam kebun dengan gemericik air jernih di dalamnya.
Selanjutnya pada narasi lain Rosulullah menggambarkan surga dan kenikmatannya dengan sangat indah, ‘sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik dalam hati seorang manusia pun’, begitu tinggi keindahan dan kenikmatan surga hingga tidak tergapai oleh imajinasi manusia yang paling jenius sekalipun. Gambaran ideal tentang keluarga yang dinarasikan Rosulullah sejatinyà harus menjadi cita-cita, karena bila kita mampu menghadirkan surga dalam rumah tangga maka ketentraman dan kesejahteraanpun akan senantiasa meliputi keluarga kita.
Rosulullah adalah teladan terbaik bagaimana membangun keluarga yang ideal.
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا ﴿٢١﴾
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(Q.S.33:21).
Hal-hal berikut patut kita lakukan guna menghadirkan surga di tengah keluarga kita yaitu:
- Berkeluarga dengan niat karena Allah dan menjalankan sunnah Rosulullah saw.
Innamal a’malu binniyat wa innama likullimriin ma nawa. Berkeluarga adalah tuntunah hidup yang disyariatkan Allah dan Rosul-Nya maka kita harus mengawalinya dengan niat ikhlas karena Allah dan mengikuti sunnah Rosul-Nya. Niat yang benar akan menuntun kita pada amal yang benar dan kita dimintai pertanggungjawaban sesuai apa yang diniatkan.
- Tauhid dan akhlakul karimah sebagai landasan dalam berkeluarga.
Al-Qur’an mengabadikan beberapa contoh keluarga sukses yang bisa dijadikan inspirasi dan teladan seperti keluarga Nabi Ibrahim, keluarga Nabi Ya’kub, keluarga Imran dan keluarga Lukman. Kunci kesuksesan mereka dalam membangun keluarga adalah landasan tauhid yang dipegang kuat dibarengi dengan ahlakul karimah.
- ilmu tentang seni membina keluarga samara.
Rasulullah adalah inspirasi terbaik bagaimana membangun keluarga bahagia, dimulai dari memilih pasangan, menguatkan visi misi berumah tangga, selanjutnya aneka tata kelola rumah tangga menyangkut peran suami-istri dan pola pengasuhan anak yang benar semua bisa kita teladani dari rumah tangga Rosul.
- Komunikasi dan lapang dada.
Membangun keluarga samara _(sakinah mawaddah wa rohmah)_membutuhkan skill dan seni berkomunikasi yang baik. Banyak persoalan pelik yang bisa diurai dengan baik bila komunikasi berjalan efektif. Komunikasi yang intens dibangun akan menepiskan kecurigaan dan membangun sinergi yang baik antar anggota keluarga.
- Membangun ekonomi.
Keluarga yang kokoh dibangun di atas fondasi ekonomi yang kuat. Banyak perceraian terjadi karena faktor ekonomi yang lemah. Ekonomi keluarga yang kuat bisa menopang hidup anggotanya dan juga dapat berkontribusi lebih besar untuk kemaslahatan umat.
Bila ingin melihat surga di bumi maka keluarga kita dapat menjadi modelnya, jangan pernah hadirkan neraka di tengah keluarga kita.
Wallahu a’lam.
_____
Kerjo, 31 Oktober 2017