Kegenitan Politik Warga Muhammadiyah
Oleh : Gus Zuhron Arrofi*
PWMJATENG.COM – Pemilu rupanya masih menjadi magnet bagi siapa saja untuk cawe-cawe agar calon yang diusungnya keluar sebagai pemenang. Dari Presiden sampai Lurah tidak lepas dari sikap memihak ke salah satu paslon. Padahal Undang-undanganya sudah cukup menjelaskan untuk memprioritaskan sikap netralitas dan integritas.
Begitu juga dalam dinamika politik internal Muhammadiyah, dari mulai tokoh pusat hingga ranting tidak luput dari euforia pemilu. Para tokoh itu berjibaku secara agak serius untuk memenangkan sang ratu adil. Pembentukan relawan menggunakan nama-nama yang afiliatif dengan Muhammadiyah sengaja diciptakan sebagai bentuk penegasan identitas bahwa para pelaku politik itu adalah aktor Persyarikatan. Sebut saja GP Berkemajuan yang diarahkan mendukung Ganjar-Mahfud. Garda Matahari, MU Perubahan dan Aliansi Masyarakat Madani (AMM) preferensi politiknya kepasangan Anis-Muhaimin. Ada juga “Bergerak 1912” yang merupakan relawan yang mewakafkan gerakannya untuk mendukung Prabowo-Gibran.
Ada yang berkelakar kalau sebagian dari mereka ada yang benar-benar relawan, namun sebagian yang lain sejatinya sebatas karyawan. Relawan berarti jiwa, raga pikiran dan harta disiapkan sepenuh hati oleh para penggerak untuk memenangkan calon idola. Sumber finansial berasal dari kantong masing-masing atau dari para donatur sukarela yang mendukung garis perjuangan mereka. Sedangkan karyawan adalah relawan yang berbayar, mendapatkan keuntungan finansial dari para calon dan sponsor, mengajukan proposal ke segala penjuru arah untuk mendanai aktivitas kampanye. Karyawan ini sulit membedakan mana tulus, fulus dan modus.
Baca juga, Jihad Politik Muhammadiyah
Dalam konteks politik semua fenomena di atas sejatinya lumrah, tidak ada yang aneh bahkan sebagian menilai sebagai sebuah kelaziman. Adalah hak politik bagi setiap warga Persyarikatan untuk menumpahkan kecintaan pada calon tertentu dengan beragam ekspresi dan tindakan. Meski demikian rambu-rambu pokok tetap perlu diperhatikan agar semangat yang dibangun tidak berujung pada tindakan merusak citra Muhammadiyah.
Beberapa catatan berikut patut menjadi pengingat agar langkah gerak politiknya aman dan elegan. Pertama, relawan tidak boleh menggunakan simbol, aset dan dana yang berasal dari Muhammadiyah. Kalau sudah berniat menceburkan diri sebagai relawan sebaiknya totalitas. Muhammadiyah sikap politiknya jelas, tidak condong pada salah satu calon. Jadi jangan membawa nama Muhammadiyah dalam kancah politik praktis.
Kedua, medan perjuangan politik seharusnya dipahami setiap hari, sepanjang tahun dan selama zaman. Bukan sekedar hadir musiman saat tahun politik berkumandang. Cara demikian tidak ubahnya seperti gerombolan politik partisan yang hadir sesaat setelah itu tak terlihat. Kegenitan perilaku politik semacam ini hanya akan dibaca oleh orang lain sebagai gerakan yang tidak mempunyai basis filosofi dan akar ideologi yang kuat. Ladang amal dalam bidang politik terbentang luas setiap waktu dan membutuhkan para aktor idealis masuk di dalamnya.
Baca juga, Berpolitik yang Bermuhammadiyah
Ketiga, tidak perlu menggunakan narasi agama untuk menjustifikasi pembelaan terhadap calon yang didukung. Penyalahgunaan dalil agama untuk kepentingan politik sejatinya akan berpotensi memperkeruh suasana. Para pembela akan melihat lawan sebagai sesuatu yang hitam putih, benar-salah, pembela agama atau penista agama. Lebih jauh keluar kata-kata seperti azab, kafir, munafik, zalim dan seterusnya pada mereka yang berseberangan dalam menentukan pilihan. Jika narasi ini terus didengungkan maka kegenitan akan menjelma menjadi kedunguan.
Warga Muhammadiyah pada dasarnya rasional dan cukup dewasa. Tidak perlu sikap berlebihan dalam membela para kandidat. Diskusi sederhana, obrolan ringan dan memperkaya literasi sudah lebih dari cukup untuk melihat siapa calon yang paling sedikit mudaratnya bagi Indonesia. Waspadalah.
*Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah.
Editor : M Taufiq Ulinuha