Jarang Diketahui, Ini Hukum Memasang Sutrah Saat Salat Menurut Tarjih Muhammadiyah

PWMJATENG.COM, Surakarta – Dalam dinamika ibadah sehari-hari, terdapat berbagai aspek yang sering kali terabaikan padahal memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam. Salah satunya adalah sutrah—benda yang dijadikan pembatas di depan orang yang sedang salat. Di tengah rutinitas umat Islam, praktik memasang sutrah seringkali tidak mendapat perhatian yang semestinya. Padahal, dalam pandangan tarjih Muhammadiyah, hal ini merupakan bagian penting dari adab salat yang berakar pada tuntunan Rasulullah SAW.
Isman, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menjelaskan secara rinci dasar hukum dan urgensi sunnah memasang sutrah. Dalam satu sesi kajian, ia menegaskan bahwa ketentuan mengenai sutrah bersandar pada hadis-hadis sahih. Salah satunya adalah sabda Nabi Muhammad SAW:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى سُتْرَةٍ فَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلَا يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian salat menghadap sesuatu yang membatasinya dari manusia, maka hendaklah ia mendekat padanya dan jangan biarkan seorang pun lewat di depannya.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Dalam penjelasannya, Isman menekankan bahwa fungsi utama sutrah bukan sekadar simbol fisik, tetapi juga sebagai upaya menjaga kekhusyukan dan kesakralan ibadah. Dengan adanya pembatas ini, orang yang salat terlindungi dari gangguan visual maupun gerakan orang lain yang mungkin melintas di hadapannya.
“Dalam pandangan tarjih, sunnahnya meletakkan sutrah berlaku umum, baik saat menjadi imam maupun ketika salat sendirian,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa sunnah ini tetap berlaku meskipun seseorang salat di tempat terbuka seperti lapangan. “Jika memungkinkan, tetap dianjurkan memasang sutrah sebagai bagian dari adab salat,” lanjutnya.
Baca juga, Zakat Kontemporer dalam Perspektif Muhammadiyah: Menafsir Ulang Delapan Asnaf dalam Konteks Kehidupan Modern
Terkait bentuk dan ukuran sutrah, Isman mengutip pendapat para ulama yang menyepakati bahwa tinggi minimal sutrah adalah setara dengan bagian belakang pelana unta, yaitu sekitar 45 cm. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim. Adapun bentuknya bisa berupa tiang, tongkat, tembok, atau benda apa pun yang terlihat mencolok dan dapat berfungsi sebagai pembatas.
Isman juga menanggapi pertanyaan tentang apakah barisan kaki makmum bisa menjadi sutrah bagi imam. Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi tertentu, seperti ketika imam tidak memiliki pembatas khusus, maka barisan makmum bisa dianggap sebagai sutrah. Namun, hal ini bukan berarti menggugurkan anjuran untuk tetap memasang pembatas di depan imam. “Anjuran memasang sutrah tetap ada sebagai bentuk kesempurnaan dalam beribadah,” katanya.

Dalam situasi tertentu, ketika seseorang tidak menemukan benda yang dapat dijadikan sutrah, maka salat tetap sah dilakukan. Akan tetapi, menurut Isman, tetap disarankan untuk mendekat ke dinding atau menggunakan sajadah kecil sebagai pembatas visual. “Itu bagian dari ikhtiar kita dalam menjaga sunnah,” ungkapnya.
Lebih jauh, Isman mendorong para imam di masjid dan mushala untuk menghidupkan kembali praktik memasang sutrah. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk keteladanan terhadap Rasulullah SAW yang secara konsisten memperhatikan sutrah dalam salatnya. Ia menekankan bahwa perkara ini jangan dianggap remeh. “Jangan sampai kita anggap sepele perkara yang Nabi contohkan dengan konsisten,” tegasnya.
Di lingkungan Muhammadiyah, Isman menjelaskan bahwa masalah sutrah telah menjadi bagian dari adab dan fiqih salat yang dikaji secara mendalam di Majelis Tarjih. Karena itu, penting untuk terus menyosialisasikannya agar umat Islam lebih memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari sekadar praktik fisik, memasang sutrah mencerminkan kedisiplinan dalam ibadah dan kecintaan terhadap sunnah. Isman menegaskan bahwa aspek ini sejalan dengan semangat tarjih Muhammadiyah yang berupaya menggali, merawat, dan menerapkan ajaran Islam secara otentik namun kontekstual. “Menjaga adab salat adalah wujud kecintaan kita terhadap ibadah itu sendiri,” ujarnya.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha