Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah: Meluruskan Kesalahpahaman
Jangan Mencari Hidup di Muhammadiyah: Meluruskan Kesalahpahaman
Oleh : Muhammad Nasri Dini (Kepala SMP Muhammadiyah Imam Syuhodo Sukoharjo)
PWMJATENG.COM – Pesan yang disampaikan oleh KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” memiliki nilai yang sangat mendalam dalam gerakan dakwah dan perjuangan Muhammadiyah. Pernyataan ini menekankan pada komitmen para aktivis Muhammadiyah untuk menghidupkan dan memperjuangkan Persyarikatan ini tanpa pamrih atau ada kepentingan pribadi. Sejarah mencatat bahwa pesan ini lahir sebagai jawaban atas pertanyaan salah satu murid KH. Ahmad Dahlan tentang apakah jika menjadi pengurus Muhammadiyah akan mendapatkan upah/gaji. Setidaknya dialog ini bisa kita rekam dari salah satu adegan dalam film biografi KH. Ahmad Dahlan “Sang Pencerah” yang pernah popular beberapa tahun yang lalu. Dan jawabannya adalah tegas: tidak hanya tanpa upah/gaji, tetapi dalam perjuangan justru memerlukan pengorbanan harta.
Namun, perlu dipahami bahwa konteks pernyataan tersebut adalah untuk menggarisbawahi pentingnya militansi dalam dakwah dan perjuangan, bukan berarti Muhammadiyah mengabaikan kesejahteraan para pengelola amal usahanya yang menghasikan nilai finansial. Hal ini sangat relevan untuk diluruskan agar tidak terjadi kesalahpahaman dan penyalahgunaan makna, khususnya terkait pengelolaan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) ‘basah’ yang menghasilkan seperti sekolah, rumah sakit, dan lembaga lainnya. Karena beberapa kali penulis pernah mendapati orang yang mencela atau sekedar mengejek para pekerja di AUM dan menganggapnya telah melanggar pesan KH. Ahmad Dahlan tentang “jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Kalau boleh mengambil kesimpulan sendiri, menurut hemat kami pernyataan ini khusus ditujukan pertama kali kepada para pengurus Muhammadiyah. Bahwa tidak selayaknya mereka mengharapkan imbalan duniawi dalam keterlibatan mereka di Muhammadiyah. Justru sebaliknya, tidak hanya waktu dan tenaga yang nantinya akan dikorbankan, bahkan harta sekalipun harus dengan rela dikorbankan untuk menghidupi Muhammadiyah.
Koreksi atas Kesalahpahaman
Dalam implementasinya di lapangan, kalimat tersebut seringkali disalahgunakan atau disalahpahamkan. Misalnya yang pernah kami dengar dari guru Muhammadiyah, langsung dari yang bersangkutan. Bahwa saat guru tersebut, yang mengabdi pada sekolah Muhammadiyah yang besar dan mapan, dengan siswa yang banyak dan SPP yang relatif mahal, kemudian ‘memprotes’ gaji guru yang dirasa masih kecil, lalu dijawab oleh sang kepala sekolah dengan mengutip pernyataan KH. Ahmad Dahlan di atas. Hal ini sangatlah tidak tepat dan menyalahi konteks. AUM yang menjadi sumber pendapatan dan memiliki manajemen profesional, harus tetap bahkan wajib hukumnya memperhatikan kesejahteraan para pegawainya. Sebuah institusi yang berlandaskan nilai-nilai Islam harus mengutamakan prinsip keadilan dan tanggung jawab sosial dalam pengelolaannya.
Ini sejalan dengan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta tahun 2000. Pada Pedoman Kehidupan Dalam Mengelola Amal Usaha yang terdiri dari 13 poin tersebut pada poin yang ke-7 PHIWM telah menegaskan prinsip keseimbangan antara etos pengabdian dan kesejahteraan. Di sana disebutkan bahwa “Sebagai amal usaha yang bisa menghasilkan keuntungan, maka pimpinan amal usaha Muhammadiyah berhak mendapatkan nafkah dalam ukuran kewajaran (sesuai ketentuan yang berlaku). Untuk itu setiap pimpinan Persyarikatan hendaknya membuat tata aturan yang jelas dan tegas mengenai gaji tersebut dengan dasar kemampuan dan keadilan.”
Artinya pengelola AUM berhak mendapatkan nafkah yang wajar sesuai dengan kemampuan institusi dan tetap mengedepankan prinsip keadilan, yaitu nafkah yang diberikan disesuaikan dengan tupoksi atau tangung jawab masing-masing. Hal ini dapat menjadi pedoman untuk memastikan keberlangsungan lembaga tanpa mengabaikan hak-hak individu yang terlibat di dalamnya. Dengan begitu, pengelolaan AUM tidak hanya berorientasi pada profesionalisme tetapi juga tetap menjaga nilai-nilai Islam yang mendasari Muhammadiyah. Keberimbangan antara hak dan kewajiban ini adalah ikhtiar untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan memotivasi setiap elemen lembaga untuk berkontribusi dengan lebih optimal.
Selain poin 7, pada PHIWM tentang Mengelola Amal Usaha pada poin 10 menambahkan bahwa, “Karyawan amal usaha Muhammadiyah adalah warga (anggota) Muhammadiyah yang dipekerjakan sesai dengan keahlian atau kemampuannya. Sebagai warga Muhammadiyah diharapkan mempunyai rasa memiliki dan kesetiaan untuk memelihara serta mengembangkan amal usaha tersebut sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT dan berbuat kebajikan kepada sesama. Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak tanpa terjebak pada rasa ketidakpuasan, kehilangan rasa syukur, dan bersikap berlebihan.”
Baca jga, Keputusan Musypimwil Muhammadiyah Jateng Tahun 2024
Mari kita garisbawahi di antara bagian penting dari poin 10 ini, yaitu, “Sebagai karyawan dari amal usaha Muhammadiyah tentu tidak boleh terlantar dan bahkan berhak memperoleh kesejahteraan dan memperoleh hak-hak lain yang layak”. Dari sini dapat dengan jelas kita baca bahwa karyawan AUM juga berhak mendapatkan kesejahteraan yang layak, tanpa kehilangan rasa syukur dan tetap menghindari ketidakpuasan yang berlebihan. Maka konsekuensinya, para pengelola dan pimpinan AUM harus memastikan keseimbangan antara semangat perjuangan dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan demikian, etos kerja yang baik akan lebih mudah terbangun dan produktivitas akan semakin meningkat.
Prinsip ini memberikan jalan tengah yang adil antara idealisme dakwah dan kebutuhan hidup yang sifatnya praktis. Dalam konteks sekolah/AUM kecil yang masih merangkak, mungkin dengan siswa yang hanya sedikit dan itu pun tidak memungut biaya, maka semangat perjuangan tanpa orientasi pada gaji semata menjadi hal yang penting. Namun untuk AUM yang sudah besar dan mapan, tuntutan kesejahteraan pekerja adalah wujud dari tanggung jawab dan penghormatan atas jasa mereka. Hal ini juga menjadi bukti bahwa nilai-nilai keadilan yang diusung Muhammadiyah dalam PHIWM benar-benar diwujudkan dalam praktiknya.
Contoh Nyata dalam Implementasi
KH. Syukriyanto bin AR Fachrudin pernah mengisahkan bahwa pada kisaran tahun 1921 M KH. Ahmad Dahlan pernah melelang seluruh barang di rumahnya untuk menggaji guru dan membiayai sekolah Muhammadiyah, menginspirasi warga Kauman yang kemudian membeli barang-barangnya namun mengembalikannya setelah dilelang. Uang hasil lelang sebesar lebih dari 4.000 gulden disumbangkan sepenuhnya ke kas Muhammadiyah, meski kebutuhan awal hanya 500 gulden. Tindakan ini mencerminkan semangat pengorbanan KH. Ahmad Dahlan dan kekompakan warga dalam mendukung perjuangan Muhammadiyah untuk pendidikan, sekaligus menjadi teladan bagi prinsip pengabdian tanpa pamrih.
Dengan melelang semua harta demi kepentingan Persyarikatan, KH. Ahmad Dahlan menunjukkan bahwa membesarkan Muhammadiyah adalah panggilan pengabdian, bukan sarana mencari keuntungan pribadi. Tindakan para warga yang membeli barang-barangnya dan mengembalikan hasil lelang untuk Muhammadiyah juga mencerminkan solidaritas terhadap nilai perjuangan ini. Prinsip ini menjadi fondasi etos kerja Muhammadiyah, bahwa kontribusi terhadap Persyarikatan harus didasari keikhlasan dan komitmen pada misi dakwah.
Pada kesempatan yang lain KH. AR Fachrudin juga pernah memberikan contoh nyata implementasi prinsip ini. Sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah, beliau tetap aktif mengelola bisnisnya untuk menopang kehidupannya sambil membesarkan Muhammadiyah. Sikap ini menunjukkan bahwa semangat dakwah tidak harus mengorbankan kesejahteraan pribadi secara mutlak. Namun, bagi mereka yang menjadi pekerja di AUM, kewajiban Muhammadiyah adalah memastikan mereka tidak terlantar dan memiliki hak-hak dasar yang terpenuhi.
Meneguhkan Kembali Prinsip Dakwah Muhammadiyah
Pernyataan KH. Ahmad Dahlan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah,” tetap relevan dalam konteks dakwah dan perjuangan Muhammadiyah hingga hari ini. Tetapi harus ditempatkan dalam kerangka yang benar. Dalam pengelolaan AUM, semangat perjuangan dan profesionalisme harus berjalan seiring dan berdampingan. Warga AUM didorong untuk menjaga semangat pengabdian tanpa melupakan tanggung jawab terhadap kesejahteraan orang-orang yang berkontribusi di dalamnya.
Para pegawai yang mengabdi di AUM, khususnya dalam hal ini penulis berada di AUM pendidikan seperti SMP, semua warga di dalamnya harus memahami bahwa AUM merupakan sarana dakwah dan perjuangan Muhammadiyah, pendukung, dan penggeraknya. Oleh karena itu, dengan niat beribadah kepada Allah SWT, loyalitas mereka juga harus ditujukan kepada lembaga. Mereka diharapkan meniatkan perjuangan lillahi ta’ala untuk membesarkan AUM dalam rangka mendukung dakwah Muhammadiyah di waktu yang sama. Bukan sekadar memanfaatkannya sebagai tempat mencari nafkah semata. Kehadiran mereka sebaiknya disertai dengan kontribusi nyata berupa tenaga dan pemikiran untuk membesarkan Muhammadiyah dengan membesarkan AUM, bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban kerja formal semata.Dengan memahami dan meneguhkan nilai ini, Amal Usaha Muhammadiyah dapat terus menjadi lembaga yang kokoh, tidak hanya dalam menghidupkan dakwah Muhammadiyah, tetapi juga dalam memberikan kesejahteraan yang adil bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sebagai penutup, penulis mempunyai satu kalimat yang bisa melengkapi atau menyempurnakan pesan KH. Ahmad Dahlan di atas. “Bekerjalah di Muhammadiyah dan besarkanlah Muhammadiyah dengannya!”. Wallahul Musta’an
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha