Isro’ Mi’roj adalah Akselerasi
Perjalanan malam nan agung yang memberi inspirasi takkan pernah habis. Dalam hari-hari duka Rasulullah Saw., Alloh Swt. seperti “menghibur” kekasihNya dengan tamasya spiritual. Secepat kilat diperjalankan dari Baitul Haram di Mekkah menuju Baitul Muqoddas Palestina. Itulah isro’. Tidak berhenti di situ, masih di-mi’roj-kan dari al-Aqso menuju Sidrotul Muntaha bersama sahabatnya Jibril dan melanjutkan sendirian ke Mustawa.
Isro’ adalah perjalanan mengarungi ruang, dan mi’roj adalah perjalanan mengarungi waktu. Dengan tempo yang sedemikian dipercepat. Perjalanan ruang adalah bagaimana kita membangun bumi ini sebagai tempat yang layak dihuni siapapun, tempat kita mengelola sebagai khalifatullah. Dan itu tidak bisa dengan seenaknya. Tidak bisa semau-maunya. Karena seorang khalifah adalah penerus pesan-pesan ketuhanan. Ia wakil Allah Swt. di persada ini.
Perjalanan waktu bukanlah perjalanan kilometer. Ia perjalanan ke dalam. Perjalanan seorang abdullah yang tengah mendayagunakan pengabdiannya kepada Sang Khalik. Ia membawa duka-duka penduduk bumi untuk memohon solusi kepada Tuhannya. Menjadi sosok qualified yang terus menerus memohon umatnya jauh dari adzabNya dan lekat dengan maghfirohNya. Sebuah perjalanan altruis. Tidak ingin manusia dibebani dengan 50 kali salat dalam sehari, namun cukup 5 kali.
Dua perjalanan ini sedemian jauh dan tak terhingga, sehingga seribu tahun umur manusia belum tentu sampai. Maka akselerasi adalah sebuah keniscayaan dalam spiritual experience. Tidak bisa leha-leha. Tidak bisa berhenti lalu tinggal untuk meneguk nafsu keduniaan. Maka bekal isro’ adalah taqwa. Meikhtiari kampung bumi ini menjadi baldah thoyibah. Menanggulangi kemungkinan-kemungkinan buruknya, dan memaksimalkan munculnya kemungkinan baiknya.
Baca juga, Muhammadiyah Kembali Dipercaya; PRM Karangturi Mendapat Wakaf Tanah Senilai 1 Milyar Lebih
Sedang bekal mi’roj adalah tawakal. Tingkat rela seorang hamba akan apapun qadarullah. Hamba yang terus melatih untuk membaca dan melakoni apa maunya Allah. Semesta ini demikian sesak dengan orang yang bicara. Penuh keluh, harap bahkan tuntutan. Maka ada waktunya diam dan mendengar. Ada saatnya wukuf sebagai titik henti. Merelakan diri mendengar perintah Ilaahi (amrullah). Mi’roj adalah seutuhnya atas kemauan Allah Swt.
Ranah manusia hanyalah ikhtiar, sungguh soal hasil sepenuhnya prerogratif Tuhan. Maka, cukuplah kita berdoa semoga dalam perjalanan keluar kita bisa menjadi isro’ yang mempercepat ketaqwaan kita. Dan bila perjalanan kedalam diberi kesempatan sebagai mi’roj tentunya itu menjadi anugerah yang mempesona lahir batin. “Rabbi adkhilni mudkhala shidqi wa akhrijni mukhraja shidqi waj’allii mil ladunka sulthanan nashiraa.” (“Ya Rabbku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.) (QS. Al Isra: 80).
Wallaahu a’lam.
Penulis : Ikhwanushoffa