Khazanah Islam

Islam, Toleransi, dan Tantangan Keberagaman dalam Bingkai Fastabiqul Khairat

PWMJATENG.COM – Dalam sebuah pengajian yang sarat makna, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Jumari, menyampaikan satu tema penting yang sangat relevan dengan kondisi keumatan saat ini: pentingnya menghargai perbedaan pandangan keagamaan. Dalam pandangannya, realitas zaman yang semakin terbuka dan bebas justru menghadirkan tantangan baru, yakni menguatnya sikap eksklusif dalam beragama. Orang merasa benar sendiri dan dengan mudah meremehkan bahkan menyalahkan pandangan agama yang berbeda dari dirinya.

Menurut Jumari, fenomena seperti ini harus segera mendapat perhatian serius. Ia menekankan bahwa keberagaman pandangan adalah bagian dari kehendak Allah, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya dalam Surat Al-Māidah ayat 48:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةًۭ وَمِنْهَاجًۭا ۚ وَلَوْ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةًۭ وَٰحِدَةًۭ وَلَـٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًۭا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

Ayat ini, menurutnya, menyiratkan bahwa setiap umat telah diberikan aturan dan jalan hidup masing-masing. Perbedaan bukanlah kesalahan atau penyimpangan, melainkan bagian dari desain ilahi untuk menguji sejauh mana manusia mampu bersikap adil, toleran, dan berbuat baik. “Kalau Allah menghendaki, manusia bisa saja dijadikan satu umat saja. Tapi itu tidak elok. Manusia bukan binatang yang hanya hidup berdasarkan naluri,” ujarnya dalam tausiyah tersebut.

Dengan demikian, keberagaman adalah ladang ujian. Allah justru memerintahkan manusia untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, atau dalam redaksi Al-Qur’an disebut: fastabiqul-khairāt. Bagi Jumari, konsep ini mengandung makna bahwa setiap umat beragama diberi peluang yang sama untuk mencari kebenaran, meyakininya, dan mengamalkannya. Namun, proses ini tidak seharusnya melahirkan sikap merendahkan orang lain yang berbeda pandangan.

Ia menyampaikan keprihatinannya terhadap fenomena orang-orang yang dengan enteng menyesali keterlibatannya dalam organisasi Islam tertentu, seperti Muhammadiyah. Ada yang bahkan terang-terangan menyatakan penyesalan dan menyudutkan Muhammadiyah sebagai gerakan yang salah. Menurutnya, orang yang memahami agama dengan luas pasti tidak akan mudah menyalahkan pihak lain. “Kalau Qur’an saja menyuruh fastabiqul khairat, itu artinya berlomba dalam kebaikan tanpa menyakiti,” tegasnya.

Baca juga, Tafsir: Keikhlasan dan Pengorbanan Adalah Fondasi Utama dalam Menjalani Kehidupan Beragama

Ia menambahkan bahwa berlomba-lomba dalam kebaikan bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengungguli dalam kualitas amal tanpa menyakiti yang lain. Perbedaan adalah keniscayaan, dan keyakinan yang berbeda seharusnya tidak menjadi dasar permusuhan.

Jumari juga menyoroti pentingnya merujuk kepada Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam mencari kebenaran. Menurutnya, jika semua pihak menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman, maka perbedaan akan menjadi sesuatu yang wajar dan tidak perlu dipertajam. “Kalau ada perbedaan, itu hanya sedikit saja. Bahkan dalam khazanah keilmuan Islam, para ulama memiliki kaidah: al-ijtihādu lā yanquḍu bi mithlih — hasil ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad lainnya,” jelasnya.

Dalam konteks ini, para ulama terdahulu adalah teladan. Mereka berbeda pendapat namun tetap saling menghormati. Hal ini menjadi pelajaran berharga bahwa perbedaan bukan alasan untuk mencela. Maka, menurut Jumari, umat Islam sebaiknya tidak merasa paling benar dan merendahkan pemikiran orang lain, apalagi jika tingkat keilmuannya belum seberapa.

“Kalau merasa paling benar sendiri lalu menyalahkan yang lain, itu kelasnya ya kelas pitik-pitik,” ujarnya dengan bahasa yang lugas namun sarat makna. Ia mengajak umat Islam untuk tidak terjebak dalam sikap eksklusif, tetapi mengedepankan semangat mencari kebenaran dengan semaksimal mungkin, serta menghargai pilihan keagamaan orang lain.

Lebih jauh, Jumari mengingatkan bahwa fastabiqul khairat harus dimaknai sebagai sikap militan di dalam dan toleran ke luar. Militansi tanpa toleransi hanya akan dimiliki oleh orang-orang yang kurang cerdas. Sebaliknya, orang cerdas mampu menyeimbangkan militansi dalam keyakinan dengan toleransi terhadap perbedaan.

“Jadi kalau kita punya kelebihan, tugas kita adalah mencerahkan mereka yang masih kekurangan. Tapi kalau kita punya kekurangan, ya belajar dari yang punya kelebihan,” imbuhnya. Dengan demikian, berlomba dalam kebaikan bukan untuk menyakiti, tetapi justru untuk membangun masyarakat yang saling menguatkan.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE
#
https://pdkwonogiri.id/ https://syariah.radenfatah.ac.id/ https://sgmwmultifinance.id/public/ https://www.hargamazda.id/htdoc/ https://sipil.teknik.untan.ac.id/
https://bgpbali.kemdikbud.go.id/