
PWMJATENG.COM – Dalam suasana yang hangat, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Zakiyuddin Baidhawy, menyampaikan sebuah pandangan yang menggugah kesadaran tentang makna teologi Al-Ma’un di abad ke-21. Menurutnya, ajaran luhur yang digali dari surah Al-Ma’un itu tidak cukup dimaknai sebatas aksi karitatif semata, tetapi harus diperluas hingga menyentuh akar persoalan kemiskinan dalam bentuk struktural.
Zakiyuddin menilai bahwa spirit Al-Ma’un di masa kini harus dihidupkan sebagai semangat kepedulian sosial yang komprehensif. Ia menegaskan bahwa kepedulian tersebut mesti bergerak dari bentuk paling sederhana, yakni pemberian bantuan langsung, menuju pemberdayaan, hingga pada tataran yang lebih mendasar: kemiskinan otoritas. “Tugas kita membangun Al-Ma’un dalam konteks bermuhammadiyah, berislam, dan berbangsa itu semakin berat,” ujarnya dalam tausiyah yang dihadiri oleh para kader dan pimpinan persyarikatan.
Menurutnya, persoalan kemiskinan bukan hanya soal kurangnya harta atau materi, tetapi juga tentang struktur kekuasaan yang tidak berpihak pada kaum lemah. Dalam konteks inilah, Zakiyuddin menekankan pentingnya menghadirkan teologi Al-Ma’un sebagai inspirasi moral dan sosial untuk mengubah sistem yang timpang. “Isu kemiskinan harus masuk ke ranah struktural, yaitu bagaimana pemerintah dibentuk dan dipengaruhi agar melahirkan kebijakan yang berpihak pada orang-orang miskin dan kurang beruntung,” tuturnya dengan tegas.
Guru Besar UIN Salatiga itu kemudian menyoroti bahwa upaya pengentasan kemiskinan sering kali terjebak pada tindakan jangka pendek yang hanya menambal masalah tanpa menyentuh akar penyebabnya. Ia menegaskan bahwa tanpa keberpihakan kebijakan pemerintah, segala bentuk program sosial akan berhenti pada level karitatif semata. “Kalau kebijakan pemerintah tidak berpihak pada mereka yang miskin, papa, dan termarjinalkan secara ekonomi, sosial bahkan politik, maka kita akan sia-sia punya program pengentasan kemiskinan,” ujarnya dengan nada penuh keprihatinan.
Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!
Pandangan ini merefleksikan pemikiran teologis yang mendalam dari tradisi Muhammadiyah, di mana teologi bukan sekadar keyakinan normatif, melainkan dasar gerakan sosial yang aktif. Al-Ma’un yang berarti “bantuan” atau “pertolongan kecil” dalam konteks ajaran Islam mengandung pesan moral tentang pentingnya memperhatikan anak yatim, orang miskin, dan mereka yang tertindas. Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Ma’un ayat 1–3:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.”
Ayat ini menjadi fondasi bagi teologi praksis yang diperjuangkan Muhammadiyah sejak masa pendiriannya oleh K.H. Ahmad Dahlan. Dalam pandangan Zakiyuddin, ruh Al-Ma’un itulah yang menjadikan Muhammadiyah tidak hanya berkutat pada amal sosial seperti pendirian panti asuhan, rumah sakit, atau lembaga pendidikan, tetapi juga harus menjadi kekuatan moral yang mampu memengaruhi arah kebijakan publik.
Ia menilai bahwa gerakan Al-Ma’un di era modern perlu menyesuaikan diri dengan tantangan global. Kemiskinan saat ini tidak hanya diukur dari pendapatan ekonomi, melainkan juga dari keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesehatan, partisipasi politik, dan keadilan sosial. Oleh sebab itu, pendekatan teologi Al-Ma’un seharusnya memampukan umat Islam untuk berpikir sistemik dan memperjuangkan keadilan dalam setiap dimensi kehidupan.
Zakiyuddin mengingatkan bahwa praktik keagamaan yang sejati harus terwujud dalam kepedulian sosial yang konkret. Dalam pandangannya, umat Islam yang beriman tidak boleh abai terhadap penderitaan sesama, karena iman yang tidak melahirkan amal sosial sejatinya belum sempurna. Hal ini sejalan dengan hadis Nabi Muhammad saw.:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ
“Tidak beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya.” (HR. al-Bukhari)
Dengan dasar itu, Zakiyuddin mengajak seluruh kader Muhammadiyah untuk tidak berhenti pada gerakan amal semata, melainkan juga mendorong perubahan struktural yang lebih adil. Ia menegaskan bahwa keberpihakan kepada kaum lemah harus menjadi agenda ideologis dan praksis Muhammadiyah di setiap lini, baik dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, maupun advokasi kebijakan publik.
“Teologi Al-Ma’un bukan hanya doktrin normatif,” tegasnya di akhir tausiyah. “Ia adalah energi sosial yang harus terus dihidupkan untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umat secara sistemik.”
Pernyataan tersebut seolah meneguhkan kembali identitas Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan—gerakan yang tidak berhenti pada dakwah moral, tetapi juga menghadirkan solusi sosial dan politik bagi kemanusiaan. Dalam konteks ini, teologi Al-Ma’un tidak sekadar menjadi warisan sejarah, melainkan menjadi spirit transformasi yang relevan bagi perjuangan umat di tengah dinamika abad ke-21.
Melalui pemikiran itu, Zakiyuddin Baidhawy menempatkan Al-Ma’un sebagai jantung teologi sosial Islam modern: sebuah panggilan untuk menjadikan iman sebagai energi perubahan yang nyata, dari karitas menuju keadilan struktural, dari kepedulian pribadi menuju gerakan sosial yang berdampak luas bagi kemaslahatan manusia.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha