Indkes Gini dan Kerawanan Sosial Politik

Indkes Gini dan Kerawanan Sosial Politik
Oleh : Khafid Sirotudin (Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah; MPKSDI PP Muhammadiyah)
PWMJATENG.COM – Indeks Gini atau Gini Ratio adalah ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan distribusi pendapatan atau kekayaan dalam suatu populasi. Nilainya berkisar antara 0 hingga 1. Semakin mendekati 0 semakin merata distribusi pendapatan, makin kecil kesenjangan ekonomi. Dan semakin mendekati 1 semakin timpang distribusinya.
Indeks Gini adalah alat statistik yang digunakan untuk mengukur tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan atau kekayaan diantara penduduk suatu wilayah. Indeks Gini didasarkan pada Kurva Lorenz yang membandingkan distribusi pendapatan kumulatif dengan distribusi ideal dimana setiap orang memiliki pendapatan yang sama.
Nilai 1 menunjukkan ketidaksetaraan sempurna, dimana satu orang menguasai seluruh pendapatan. Nilai antara 0 dan 1 menunjukkan tingkat ketidaksetaraan yang berbeda-beda. Semakin tinggi nilai Gini Ratio atau mendekati 1, maka semakin tinggi ketimpangannya.
BPS mencatat Rasio Gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia pada Maret 2025 mencapai 0,375. Angka ini menurun 0,006 poin bila dibandingkan dengan rasio September 2024 sebesar 0,381. Kalau dibandingkan Rasio Gini antara perkotaan dan pedesaan, ketimpangan di kota pada Maret 2025 sebesar 0,395. Lebih rendah 0,007 poin dibandingkan bulan September 2024 dan ketimpangan di pedesaan Maret 2025 sebesar 0,299.
Mengutip Berita Resmi Statistik (BRS Jumat 25 Juli 2025) BPS mencatat Tujuh Provinsi memiliki tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk (rasio gini) yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional 0,375 pada Maret 2025. Ketujuh provinsi tersebut, yaitu Jakarta (0,441), Yogyakarta (0,426), Jawa Barat (0,412), Papua Selatan (0,412), Papua (0,404), Gorontalo (0,392) dan Kepulauan Riau (0,382). Sementara Kepulauan Bangka Belitung memiliki tingkat ketimpangan terendah, sebesar 0,222.
Secara nasional, BPS mencatat rasio gini di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan wilayah pedesaan, yakni 0,395 berbanding 0,299 (Maret 2025). Hal ini terjadi disebabkan kelompok penduduk “Kelas Atas” lebih banyak berada di perkotaan. Sehingga ketimpangan pengeluaran lebih terasa dibandingkan pengeluaran penduduk di pedesaan yang relatif homogen (bidang pertanian). Kondisi ini tercermin dari data lapangan pekerjaan menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).
Sumber data utama yang dipakai menghitung tingkat kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk adalah Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran Maret 2025. Dimana pendataan Susenas dilakukan Februari 2025, mengingat Maret 2025 bertepatan bulan Ramadan. Jumlah sampel Susenas sebanyak 345.000 rumah tangga yang tersebar di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Jauh lebih banyak dibandingkan survey politik yang berada di kisaran 1.000-an responden.
Dalam perspektif ilmu Politik Ekonomi, data primer dari BPS tentang pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran penduduk dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menentukan sebuah kebijakan. Sekaligus dapat dijadikan acuan bagi DPR-RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam mendesain kebijakan ekonomi yang tercermin dalam APBN dan APBD.
Kelalaian Kepala Daerah dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota memperhatikan Data Primer dari BPS tentang indikator makro ekonomi suatu wilayah dan daerah, dapat memicu dan memacu keresahan sosial ekonomi. Betapapun rakyat menyaksikan dan mencatat “jejak digital” saat Debat Kandidat atau Uji Visi Misi pada Pilkada Serentak 27 November 2024. Dimana Visi Misi Kepala Daerah terpilih menjadi dokumen resmi dalam menyusun Peraturan Daerah (Perda) RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) 2025-2030.
Berdasarkan data yang kami miliki tentang Visi Misi Calon Kepala Daerah se Jawa Tengah, ada visi misi pembangunan ekonomi yang realistis, rasional dan moderat. Tetapi tidak sedikit yang tidak realistis, “ora tinemu nalar” (tidak rasional) dan tidak wasathiyah (moderat). Sehingga kami tidak kaget ketika ada Kepala Daerah di Jawa Tengah –dilantik serentak oleh Presiden, Kamis 20 Februari 2025– melaksanakan program awal pemerintahannya dengan cara “bijak sini, bijik sana” (tidak bijaksana).
Sebagaimana kita ketahui bahwa APBD Tahun Anggaran 2025 telah ditetapkan DPRD bersama Pemerintah Daerah periode sebelumnya, 2019-2024. Sehingga secara praksis Kepala Daerah terpilih sulit mewujudkan program pembangunan di awal pemerintahan sebagaimana visi misi saat kampanye Pilkada. Bagi Kepala Daerah yang terpilih dan incumbent relatif tidak menjadi persoalan. Tetapi bagi Kepala Daerah yang baru pertama kali terpilih pasti menjadi persoalan tersendiri. Lebih rumit lagi, apabila Kepala Daerah pemenang kontestasi Pilkada tidak didukung mayoritas anggota DPRD dari Partai Politik atau Gabungan Parpol yang tidak mengusungnya.
Baca juga, Ibrah di Balik Tugas-Tugas Kenabian Muhammad SAW
Menjadi Kepala Daerah itu tidak semudah yang dibayangkan dan diobrolkan netizen di berbagai laman media sosial atau sekedar menjadi “rasan-rasan” (pembicaraan non formal suatu topik) masyarakat di warung kopi. Mengingat jabatan Kepala Daerah itu sebuah amanat rakyat yang berat. Jika merasa “ora mitayani” –tidak memiliki kepemimpinan yang mumpuni– serta didukung super-team aparatur pemerintah dan DPRD yang kuat, maka lebih baik mengundurkan diri saat ini. Anggap saja biaya politik mahal yang telah dikeluarkan sebagai sedekah politik “buang sial”. Sebelum rakyat semakin kecewa dan tidak percaya dengan pemimpin daerah yang tidak pro rakyat miskin atau kaum dhuafa’ dalam mengakses kebutuhan dasar pangan, pendidikan dan kesehatan; tidak berpihak pada keadilan dan pemerataan ekonomi; serta tidak pro lingkungan (merusak alam semesta).
Fenomena gerakan rakyat yang terjadi di Kabupaten Pati, kemudian menjalar ke berbagai kabupaten dan kota di Indonesia merupakan sebuah “alarm” penanda alam bahwa masyarakat semakin pintar dan melek informasi. Rakyat semakin menyadari hak dan kewajiban konstitusi. Sebagai pemimpin rakyat, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta Pimpinan/anggota DPR/DPRD dituntut lebih bijaksana dalam ucapan, sikap dan perilaku sosial.“Biso rumongso, ora rumongso biso”, mampu tahu diri dan bisa menempatkan diri sebagai seorang pemimpin dan wakil rakyat yang mengayomi, melindungi, melayani dan menyejahterakan rakyatnya.
Kejadian mutakhir amuk massa membakar gedung DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota serta tindakan amuk massa menyatroni rumah mewah milik beberapa anggota DPR-RI yang dinilai publik telah menyakiti hati nurani rakyat, cukuplah menjadi “pepeling” (pengingat) bagi kita semua. Bahwa “Pemimpin suatu kaum itu adalah pelayan bagi kaum tersebut” (HR. Abu Nu’aim). Pemimpin itu tugasnya melayani, bukan minta dilayani.
Aparat keamanan itu tugasnya mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat yang telah menuaikan kewajiban membayar pajak dan aneka retribusi untuk membayar gaji mereka. Menjauhkan diri dari sikap arogansi, menakut-nakuti, menggebuki bahkan –naudzubillah– menghilangkan nyawa rakyat dengan otoritasi yang dibatasi konstitusi.
Sekarang kita sedang melihat fenomena politik-kekuasaan di sebagian besar daerah otonomi tentang adanya Kepala Daerah “de jure” dan “de facto”. Sebuah fenomena politik kekuasaan dimana Kepala Daerah yang sejatinya hanya 1 orang, tetapi secara fakta terdapat banyak orang yang “membo-membo” (menyerupai, berubah wujud) sebagai Gubernur atau Bupati/Walikota ke 2, 3, 4 bahkan lebih. Kepala Daerah “de facto” itu bisa istri atau suami, anak dan menantu, saudara dan keponakan, bohir, tim sukses atau Ketua Parpol pengusung.
Berdasarkan data primer ekonomi makro BPS, serta memperhatikan fenomena sosial budaya, politik dan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini, kami menjadi semakin faham bahwa di setiap kali terjadi demonstrasi yang diikuti tindakan represif aparat keamanan dan laku anarkis sebagian masyarakat selalu tidak berada di dalam ruang hampa. Ada desain yang sistematis, terstruktur dan massif yang berasal dari para aktor politik dalam negeri maupun luar negeri. Dimana situasi dan kondisi sosial ekonomi dijadikan pemicu dan pemacu gerakan massa. Betapapun sejarah telah mengajarkan, tidak ada sebuah gerakan massa tanpa adanya desain politik atau rekayasa sosial yang handal.
Sebagai anak bangsa, kami mengajak segenap komponen masyarakat untuk menyadari bahwa terlalu banyak kepentingan politik ekonomi kapitalisme –internal dan eksternal– berkeinginan menguasai sumber daya manusia dan sumber daya alam Indonesia yang sangat kaya. Tidak ada satu negara pun memiliki kekayaan sumber daya mineral pertambangan –daratan dan lautan– sebanyak dan selengkap Indonesia. Mari kita jaga dan manfaatkan secara arif bijaksana bagi kelangsungan hidup anak cucu generasi penerus dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
……..
Turunkan harga secepatnya, berikan kami pekerjaan
Pasti kuangkat engkau, menjadi manusia setengah dewa
Masalah moral, masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau, menjadi manusia setengah dewa
……..
Sebait lirik lagu “Manusia Setengah Dewa” Iwan Fals mengakhiri tulisan kami malam ini.
Wallahu’alam
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha