Hilangnya Safe Space : Mengapa Kader Perempuan Muda Kian Menjauh dari Muhammadiyah?

Oleh: Mohammad Noor Ridhollah (Peserta Sekolah Tabligh MT PWM Jateng)
PWMJATENG.COM, Di banyak ranting Muhammadiyah hari ini, jejak langkah perempuan muda semakin jarang terdengar. Ruang rapat yang dulu penuh suara bersemangat kini lebih sering diisi oleh wajah-wajah yang sama. Seolah ada satu generasi yang perlahan memudar dari panggung. Padahal, sejarah Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari keberanian perempuan mudanya. ‘Aisyiyah tumbuh dari tangan-tangan perempuan belia kader Nasiatul ‘Aisyiyah yang mengajar di kampung, membuka kelas membaca, hingga mengelola kegiatan sosial yang mengubah wajah masyarakat. Namun kini, di tingkat akar, energi itu seakan meredup.
Sering kali kita mendengar komentar, “Perempuan kader NA-nya ke mana? Kok tidak muncul di ranting?” Namun pertanyaan itu jarang disertai keberanian untuk melihat ke cermin. Apakah ranting masih menjadi tempat yang ramah bagi perempuan muda? Apakah suasananya mendorong mereka untuk bertumbuh, atau justru membuat mereka merasa bersalah karena tidak bisa hadir sesuai standar lama?
Realitas Kehidupan yang Tak Terakomodasi
Kehidupan perempuan muda zaman ini jauh lebih kompleks. Banyak di antara mereka adalah ibu muda yang baru belajar menyeimbangkan tuntutan rumah tangga dan pengasuhan anak. Mereka pulang kerja dalam keadaan lelah, lalu tetap harus menghabiskan malam dengan menidurkan anak, menyiapkan makan untuk esok hari, atau sekadar menjadi teman bicara bagi suaminya setelah seharian bekerja. Banyak yang ingin aktif di ranting, tetapi realita hidup tidak selalu memberi ruang seluas itu.
Ketika mereka mencoba hadir, sering yang mereka temui bukan pengertian, melainkan tuntutan. Rapat panjang sampai larut malam, diskusi yang kadang bertele-tele, gaya komunikasi yang keras dan maskulin, serta ritme kegiatan yang seolah dibuat tanpa mempertimbangkan realitas kehidupan keluarga muda.
Ada seorang ibu muda yang datang ke rapat sambil membawa bayinya. Baru duduk sebentar, tatapan peserta lain membuatnya merasa tidak semestinya ada di situ. Ada pula yang harus buru-buru pulang karena mendapatkan pesan singkat dari suaminya. Ia pergi dengan perasaan bersalah: bersalah meninggalkan rapat, sekaligus bersalah meninggalkan rumah.
Beban Ganda dan Rasa Bersalah
Perempuan muda tidak menuntut perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin ruang yang lebih mengerti keadaan. Ruang di mana seorang ibu muda tidak dianggap kurang komitmen hanya karena harus pulang lebih dulu. Ruang di mana suara bayi tidak dianggap gangguan, tetapi bagian dari dinamika kehidupan dakwah. Ruang di mana jadwal rapat disesuaikan dengan ritme keluarga, bukan sebaliknya.
Selain itu, ranting juga sering kehilangan figur perempuan mentor yang dekat dengan dunia mereka. Banyak perempuan muda ingin belajar menjadi pemimpin, ingin terlibat dalam program sosial, ingin membawa ide digital, tetapi tidak tahu kepada siapa harus bertanya. Jika struktur lebih sibuk menata nama dalam kepanitiaan daripada menyentuh hati para kader muda, maka ranting perlahan berubah menjadi ruang kosong yang hanya dihuni oleh nostalgia.
Jika ranting ingin kembali hidup, ia harus berani berubah. Harus ada keberanian untuk merestorasi cara berkegiatan: rapat yang lebih singkat, suasana yang lebih hangat, agenda yang lebih relevan, dan jadwal yang lebih ramah keluarga. Ranting perlu menciptakan sebuah ruang aman atua safe space bagi ibu muda untuk hadir dengan segala realitasnya – termasuk membawa anak tanpa dianggap mengganggu. Di titik itulah dakwah menemukan kembali wujudnya yang paling manusiawi: tidak memaksa, tetapi merangkul.
Restorasi untuk Merangkul Kembali
Gerakan Muhammadiyah tidak akan utuh tanpa perempuan muda. Mereka bukan sekadar “pelengkap” dalam struktur, tetapi sumber energi baru yang dapat menghidupkan ranting-ranting yang mulai lesu, terutama di ‘Aisyiyah. Jika perempuan muda menjauh, gerakan ini akan kehilangan separuh jiwanya. Maka pertanyaan yang paling jujur untuk kita renungkan bukan lagi, “Mengapa mereka tidak hadir?” tetapi “Apakah organisasi kita masih layak menjadi rumah bagi mereka?”
Perempuan muda mulai menjauh bukan karena tidak peduli. Mereka menjaga jarak karena tidak menemukan ruang untuk bernapas. Bila ranting mau berubah, mau mendengar, mau mengakomodasi, mau memahami, maka perempuan muda tidak hanya akan kembali, tetapi akan membawa cahaya baru yang menghidupkan seluruh gerakan. Dan di situlah pembaruan sejati menemukan akar: ketika kader perempuan muda merasa diterima bukan karena kehadirannya, tetapi karena keberadaannya dihargai.
Editor: Al-Afasy



