Berita

Hari Guru 2025: Menggagas Kembali Martabat Guru di Tengah Dinamika Pendidikan Masa Kini

Dina Setyaningsih, S.Sos.I., M.Pd. – Guru Ismuba SMK Mutiara

PWMJATENG.COM, Hari Guru bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan momentum untuk meneguhkan penghormatan terhadap profesi guru—teladan, panutan, sekaligus idola bagi para siswa. Pada hari inilah para murid merasa terdorong menyampaikan terima kasih kepada “orang tua kedua”, sosok yang melanjutkan peran keluarga dalam mendidik, menjaga, dan membimbing perjalanan tumbuh kembang mereka.

Namun Hari Guru 2025 hadir dalam lanskap pendidikan yang berbeda. Pendidik berada di tengah pusaran dinamika yang kian kompleks. Media sosial dengan cepat mengangkat berbagai isu ke permukaan—mulai dari bullying antarsiswa, kasus kekerasan, pelecehan oleh oknum pendidik, hingga perdebatan antara disiplin sekolah dan persepsi orang tua. Sayangnya, sebagian persoalan diperkeruh oleh ketidakterimaan sebagian orang tua terhadap konteks penegakan aturan di sekolah yang tidak selalu selaras dengan pola asuh keluarga masa kini.

Kasus bullying yang menimpa Wakil Kepala Sekolah SMAN 15 Maluku Tengah, Maryam Latarissa, menunjukkan bahwa guru kini dapat berada pada posisi rentan di mata publik. Di sisi lain, kasus pelecehan seksual oleh oknum pendidik di berbagai daerah—SMP Negeri 13 Bekasi, SMA di Kota Bengkulu, SMK PGRI 5 Jakarta Barat, SMK Moyudan Sleman, hingga sekolah di Tangerang Selatan—mengguncang rasa aman masyarakat dan menegaskan urgensi etika profesi serta pengawasan yang ketat. Sementara isu perbedaan disiplin antara rumah dan sekolah, meski jarang tersorot sebagai “kriminalisasi guru”, tetap menjadi konflik nilai yang cukup nyata.

Keseluruhan dinamika ini menggambarkan satu hal: dunia pendidikan membutuhkan sinergi, komunikasi terbuka, dan dukungan masyarakat untuk memulihkan martabat guru sekaligus memastikan lingkungan belajar tetap aman dan kondusif.


Budaya keluarga saat ini banyak dibentuk oleh pola asuh yang sangat toleran, cenderung permisif, serta kuat dipengaruhi konten digital. Ketika pola pendidikan di sekolah berbeda dengan pola pengasuhan di rumah—meski keduanya sama-sama bertujuan mendidik—perbedaan itu sering berkembang menjadi masalah besar. Tidak jarang tindakan guru yang sebenarnya merupakan bagian dari disiplin sekolah justru dianggap berlebihan atau bahkan dikategorikan sebagai pelanggaran.

Di tengah perubahan ini, istilah “pahlawan tanpa tanda jasa” terasa semakin tereduksi. Begitu pula ungkapan “guru digugu lan ditiru”, yang kini semakin sulit diwujudkan dalam realitas. Banyak guru menghadapi tantangan baru: tutur kata siswa yang kurang pantas, sikap yang tidak menghormati, hingga perlakuan yang menyamakan guru dengan teman sebaya. Dalam pembelajaran sehari-hari pun hanya sedikit murid yang benar-benar fokus; lainnya mudah bosan, menganggap materi tidak relevan, atau terdistraksi oleh gawai. Kurikulum boleh berubah, tetapi tantangan menjaga fokus belajar anak tetap besar.


Sinergi pendidikan antara rumah dan sekolah menjadi kunci. Dalam tradisi Arab, penyair Mesir Hafiz Ibrahim mengatakan, “Al-ummu madrasatun…”—ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Dari ibulah seorang anak belajar kata pertama, etika pertama, dan kebiasaan pertama. Ketika ibu dan ayah dipersiapkan menjadi pribadi yang baik, generasi yang lahir dari rahim pendidikan keluarga akan tumbuh berkarakter kuat dan berakhlak mulia.

Pepatah ini sejalan dengan konsep Tri Pusat Pendidikan dari Ki Hajar Dewantara: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya adalah ruang belajar yang membentuk manusia seutuhnya. Anak hanya dapat tumbuh secara komprehensif apabila ketiga lingkungan ini harmonis dalam nilai, pengetahuan, dan pengalaman yang diberikan.

Pandangan ini diperkuat oleh Prof. Arief Rachman yang menegaskan bahwa kualitas interaksi antara keluarga dan sekolah sangat memengaruhi karakter serta motivasi belajar siswa. Hal senada disampaikan Anies Baswedan melalui gagasan Gerakan Indonesia Mengajar: masa depan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum atau fasilitas, tetapi oleh kualitas kolaborasi antara guru, orang tua, dan siswa.

Pendidikan adalah proses kolektif. Ketika komunikasi berjalan baik, nilai-nilai yang ditanamkan di sekolah akan selaras dengan pembiasaan di rumah. Guru tidak harus melayani 24 jam tanpa batas, tetapi penting memelihara komunikasi yang terbuka, responsif, dan kolaboratif dengan orang tua demi perkembangan anak.


Pada akhirnya, Hari Guru 2025 harus menjadi refleksi bersama: bagaimana kita memperlakukan guru, mendukung peran mereka, dan menempatkan martabat mereka pada posisi yang layak? Sebab mustahil kita berharap hadirnya generasi bangsa yang hebat tanpa guru yang dihormati, dipercaya, dan diberdayakan.

Selamat Hari Guru 2025.
Semoga pendidikan Indonesia kembali kuat dari rumah, mengakar di sekolah, dan tumbuh di masyarakat—bersama guru yang terus kita muliakan.

Editor: Al-Afasy

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE