Guruku Pencetak Kader Militan Persyarikatan
Oleh : Arip Hidayat*
PWMJATENG.COM – Musyda, Musyawarah Daerah. Adalah forum resmi tertinggi Muhammadiyah tingkat daerah/kabupaten/kota. Bermusyda adalah bagian dari proses Bermuhammadiyah itu sendiri.
Bermuhammadiyah itu indah, seindah lantunan suara biola yg di mainkan Kiai Dahlan (1868 – 1923 M). Beruhammadiyah itu tegas. Setegas Ki Bagus Hadikusumo (1890 – 1954 M) dalam menentang Seikerei-nya penjajah Jepang.
Di pihak lainnya Bermuhammadiyah itu lembut, selembut rasa maaf Buya Hamka (1908 – 1981 M) terhadap lawan-lawan politik yang pernah memfitnahnya dan memenjarakannya. Kadangkala Bermuhammadiyah itu jenaka, layaknya KH. AR Fahrudin (1916 – 1995 M), tatkala beliau ditanya oleh Buya Syafi’i Ma’arif (1935 – 2022 M). ” Pak A.R, kok banyak merokok?” Tanya Buya Syafi’i muda kepada Pak A.R. “Tidak banyak, saya merokok satu-satu”. Jawab Kiai A.R. Fahrudin disambut tawa Buya Syafi’i. Intinya bermuhammadiyah yang dicontohkan para pendahulu itu komplit. Kadang manis, asam, asin, bahkan pahit.
Aku, yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa ini, alhamdulillah pernah ikut “nyantri”, ngangsu kaweruh terhadap para ulama, sarjana Islam dan Kiai dari Muhammadiyah. Beliau-beliau meneladankan kesederhanaan, keikhlasan, keceriaan, dan kegembiraan dalam bersyarikat di Muhammadiyah.
Suatu kali, di tahun 2013, Prof. Hilman Latief (Saat ini Bendahara Umum PP Muhammadiyah dan Dirjen Haji Kemenag RI) tiba-tiba mengajakku dan teman-temanku kelas Islamic Studies Ekonomi Perbankan Islam UMY, untuk ziarah makam pendiri Kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senopati di Kota Gede, Yogyakarta. Juga di makam raja-raja Imogiri, Bantul Yogyakarta. Aku ditugasi beliau menghitung kotak amal di kompleks makam, bertanya pada kuncen berapa nilai rupiah dari kotak amal per-bulannya. Singkat kata munculah angka nominal Rp. 30.000.000 per-bulan. Dan uang itu kembali kepada penjaga makam. Sungguh nilai yang fantastis. Di akhir ziarah, Prof. Hilman berkata kepadaku “Arip, kamu harus bisa menyadarkan masyarakat, kalau fakta ziarah itu bukan hanya sebatas ritual, tapi pembodohan atas nama sedekah kotak amal”. Sungguh cara pencerahan yang luar bisa dari Prof. Hilman.
Lain waktu, aku berdiskusi panjang dengan KH. Fathurahman Kamal (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah) tentang konsep Hijrah Darul Islam ( DI/NII) yg menurutku keren, hebat. Karena menawarkan konsep Negara Islam. Beliau dengan sabar dan tenang mendengarkan ocehanku yang awam ini tentang konsep DI yang menurutku ideal. Di akhir diskusi Kiai Fathurahman bertanya padaku, “Gini Arip, apakah kelompok itu mengkafirkan muslim di luar kelompoknya?”. “Setahu saya iya kiai,” jawabku. “Jauhi, itu ciri kelompok sesat”, Kata beliau tegas. Sungguh beliau Kiai yang tawadhu, mau mendengar ocehan muridnya.
Baca juga, UMKU Dukung Resiliensi Berkemajuan LRB PP Muhammadiyah
Di lain hari, aku bersama seorang kawan alumni Muallimin Yogyakarta, sowan kepada Kiai Muhsin, beliau Alumni Muallimin, Ulama Persyarikatan Muhammadiyah, Kauman. Kudapati beliau sedang membaca Kitab Kuning Tasawuf Al-Hikam karya Ibnu Athailah As-Sakandari. Padahal kitab ini tidak populer di Muhammadiyah. “Pak Kiai ngaji Hikam juga ya?” Tanyaku heran, ada ulama Muhammadiyah baca kitab Tasawuf Sadziliyah. “Menambah wawasan itu penting Mas Arip”, jawab beliau ramah.
Interaksiku dengan para guru-guru itu menimbulkan kekaguman dalam jiwa. Betapa guru-guruku, para pimpinan Muhammadiyah ini begitu cerdas dalam berdakwah, sederhana dalam sikap, tawadhu, dan luas wawasan. Maka tak heran sikapnya menjadi teladan, banyak sudah kader-kader militan yang lahir atas didikan beliau-beliau.
Duh…maaf guru, pangapunten Kiai, saya masih terseok-seok untuk menjadi kader. Masih jauh ke maqom itu. Nafa’ana Bi Ukumikum.
*Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kabupaten Tegal, Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Adiwerna.
Editor : M Taufiq Ulinuha