Fiqih Adaptif Berkemajuan: Menjawab Tantangan Zaman
PWMJATENG.COM, Yogyakarta – Dr. Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam Pelatihan Muballigh DPP IMM menekankan konsep “Fiqih Adaptif Berkemajuan”. Dalam pandangannya, Islam adalah agama yang selaras dengan segala kondisi waktu dan tempat, tanpa harus mengalami penyesuaian. Islam sudah sejalan dengan segala perubahan yang terjadi, termasuk dalam konteks politik dan kehidupan sehari-hari.
“Islam itu sesuai untuk seluruh waktu dan tempat,” ujar Dr. Hamim. Ia mencontohkan pemilihan partai politik di Indonesia yang berbeda antara masa Orde Baru dan sekarang. Pada masa lalu, terdapat keresahan akan masa depan karier jika tidak mendukung partai tertentu. Namun, kini masyarakat memiliki kebebasan lebih, mencerminkan kesejahteraan hidup yang lebih baik. Hal ini sejalan dengan konsep Islam Rahmatan Lil’alamin, yang menentang segala bentuk keresahan dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut Dr. Hamim, kesejahteraan hidup tidak hanya diukur dari aspek materi, melainkan juga spiritual. “Jika materi tercukupi tapi spiritualnya kurang, sebanyak apapun materi yang dimiliki, orang tersebut akan tetap merasa kurang sejahtera,” jelasnya. Muhammadiyah, lanjutnya, telah berupaya membantu bangsa ini melalui bidang pendidikan dan kesehatan untuk mencapai kesejahteraan yang seimbang antara materi dan spiritual.
Dr. Hamim juga menjelaskan makna Matan Keyakinan Muhammadiyah, yang salah satunya dipahami melalui pelaksanaan shalat. Shalat dimulai dengan takbiratul ihram, yang menandakan ketundukan kepada Allah SWT. Dalam pandangannya, kesejahteraan dapat diwujudkan melalui kerja keras dan kebahagiaan yang diperoleh saat berbagi dengan orang lain. “Ketika Anda menerima gaji, Anda merasa damai. Tetapi ketika Anda mentransfer sebagian gaji itu kepada keluarga, Anda merasa bahagia,” tambahnya.
Muhammadiyah, menurut Dr. Hamim, adalah organisasi yang menganut tauhid murni, yang membersihkan ajaran dari khurafat. Muhammadiyah juga dikenal sebagai organisasi yang menjunjung tinggi toleransi dan memiliki “mental kaya”, yang selalu ingin memberi. “Sayangnya, bangsa kita masih banyak yang memiliki mental fakir, lebih suka meminta daripada memberi,” katanya.
Dr. Hamim juga menekankan pentingnya kejujuran sebagai cerminan iman. Ia mengutip perkataan Umar bin Khattab, yang menyatakan bahwa ia khawatir dimintai pertanggungjawaban bahkan terhadap seekor keledai yang jatuh di wilayah kekuasaannya. Menurut Dr. Hamim, iman sejati akan membuat seseorang menjadi jujur dan bertanggung jawab.
Baca juga, Membangun Umat Unggul Berbasis Masjid
Dalam pandangannya, umat Islam masih sering dianggap eksklusif. Namun, Muhammadiyah membuktikan sebaliknya, dengan memberi pelayanan tanpa membedakan agama, seperti ketika rumah sakit Muhammadiyah melayani pasien non-Muslim. “Kita tidak menanyakan agama sebelum menolong, karena itu hanya membuang waktu,” jelas Dr. Hamim.
Ia juga menyoroti peran Al-Qur’an dalam membebaskan umat dari kebodohan. Menurutnya, keberkahan yang ada dalam Al-Qur’an tidak hanya berupa kebaikan spiritual, tetapi juga dalam aspek kehidupan sehari-hari. Dalam konteks kemajuan teknologi di Indonesia, Dr. Hamim menegaskan bahwa kesucian tetap harus dijaga sebagai nilai mutlak dalam Islam.
Konsep fiqih adaptif, lanjutnya, dapat membangkitkan kembali peradaban Islam yang lebih baik daripada peradaban Barat. “Meskipun Barat maju dalam beberapa hal, dari segi kesucian, peradaban Islam jauh lebih unggul,” ujar Dr. Hamim. Ia mencontohkan konflik Israel-Palestina sebagai bukti bahwa peradaban Barat tidak sepenuhnya baik, terutama dalam aspek moral dan kemanusiaan.
Dr. Hamim juga menjelaskan konsep Ushul Fiqih, di mana hukum dalam Islam, termasuk akad Istisna, menjunjung tinggi prinsip keadilan. Selain itu, ia menguraikan empat produk tarjih dalam Muhammadiyah: putusan, fatwa, wacana, dan taujihat. Putusan, misalnya, bersifat mengikat, seperti kalender Muhammadiyah. Sedangkan fatwa, seperti soal rokok, tidak mengikat, tetapi disesuaikan dengan nurani individu.
Menanggapi tradisi tahlil di masyarakat Indonesia, Dr. Hamim menyarankan pendekatan yang bijaksana. “Jangan melarang tradisi seperti tahlil secara keras, biarkan menghilang dengan sendirinya,” tuturnya. Pendekatan ini diharapkan dapat menjaga keharmonisan di masyarakat tanpa menimbulkan perseteruan.
Di akhir pembicaraannya, Dr. Hamim menegaskan bahwa akidah Muhammadiyah adalah sistem kepercayaan yang etis dan bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua pihak, tanpa memandang golongan. Dengan demikian, Muhammadiyah terus berusaha untuk menghadirkan Islam yang adaptif, berkemajuan, dan membawa rahmat bagi seluruh alam.
Kontributor : Anis Irkhamni Septiani
Editor : M Taufiq Ulinuha