Khazanah Islam

Fenomena Fatherless di Indonesia: Ancaman Serius bagi Generasi Muda

PWMJATENG.COM – Fenomena anak tanpa figur ayah atau yang kerap disebut fatherless semakin sering menjadi perhatian publik. Bukan hanya karena ketiadaan ayah akibat wafat, melainkan juga karena banyak ayah yang masih hidup tetapi tidak menjalankan fungsi keayahannya. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, M. Abduh Hisyam, dalam sebuah tausiyah menegaskan bahwa fenomena ini bukan sekadar isu sosial, melainkan ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Menurutnya, istilah yatim tidak semata-mata disematkan pada anak yang kehilangan ayah karena meninggal dunia. Anak yang masih memiliki ayah, tetapi ayahnya tidak peduli, juga dapat dikategorikan sebagai yatim. Ia memberi contoh, seorang ayah yang pergi merantau karena desakan ekonomi tetapi gagal memperoleh pekerjaan layak sehingga tidak dapat menafkahi keluarganya. Dalam kondisi demikian, anak sering kali hanya tinggal bersama neneknya yang juga memiliki keterbatasan dalam mendidik.

Abduh menekankan bahwa situasi ini mengingatkan pada perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Rasulullah sejak kecil ditinggalkan ayahnya, lalu diasuh oleh kakeknya yang sudah lanjut usia. Kondisi itu menunjukkan betapa beratnya kehidupan seorang anak yang tidak mendapatkan bimbingan orang tua secara utuh. Padahal, kata Abduh, orang tua memiliki peran vital untuk melindungi, mendidik, dan membimbing anak dalam kesehariannya. Mulai dari mengatur waktu makan, tidur, hingga melarang anak agar tidak berlebihan dalam bermain, semua itu merupakan bagian dari peran orang tua yang sulit tergantikan.

Fenomena fatherless, tambahnya, juga muncul dalam keluarga modern. Ada ayah yang secara fisik hadir di rumah, tetapi sama sekali tidak terlibat dalam pengasuhan. Kesibukan pekerjaan atau kurangnya kepedulian membuat peran ayah tergantikan oleh pembantu rumah tangga atau pihak lain. Kondisi ini, menurutnya, semakin memperparah kualitas generasi muda Indonesia.

Lebih jauh, Abduh menyoroti bahwa problem fatherless juga berkaitan dengan isu besar bangsa, yaitu bonus demografi. Banyak pihak menyebut Indonesia akan mendapat keuntungan dari jumlah penduduk usia produktif yang besar. Namun, ia menilai hal itu sekadar ilusi jika kualitas sumber daya manusia tidak diperhatikan. “Bonus demografi itu omong kosong kalau anak-anak Indonesia tidak mendapatkan pendidikan yang baik, gizi yang memadai, dan jaminan kesehatan yang layak,” tegasnya.

Ia menambahkan, realitas di lapangan justru menunjukkan angka stunting masih tinggi. Banyak anak tumbuh kurus dan kurang gizi sehingga sulit bersaing secara fisik maupun mental dengan anak-anak dari negara lain seperti Vietnam atau Korea Selatan. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka bonus demografi tidak akan pernah terwujud. Sebaliknya, yang muncul justru generasi lemah yang tidak mampu menghadapi tantangan global.

Dalam tausiyahnya, Abduh juga mengingatkan bahwa membangun generasi berkualitas harus dimulai sejak hulu, yakni dari keluarga. Ia menekankan pentingnya pernikahan yang matang. Pernikahan dini, menurutnya, sering kali menjadi pemicu lahirnya generasi yang tidak siap secara ekonomi maupun psikologis untuk mengasuh anak. “Kalau usia pernikahan belum matang, bagaimana bisa menghidupi anak dengan baik?” ucapnya. Oleh karena itu, kesiapan finansial, pendidikan, dan kematangan emosional menjadi syarat penting dalam membangun keluarga.

Baca juga, Hukum Gaji yang Didapatkan dari Pekerjaan Lewat Jalur Ordal

Selain itu, ia menyoroti peran negara dan dunia usaha dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Ia menyebut bahwa pemerintah sering gagal membuka kesempatan kerja yang memadai, sementara banyak perusahaan swasta gulung tikar. Situasi ini mempersempit peluang generasi muda untuk memperoleh penghasilan layak. Ketika ayah tidak memiliki pekerjaan tetap, peran keayahannya sebagai pencari nafkah pun terganggu. Akibatnya, anak-anak kembali menjadi korban dari lingkaran masalah fatherless.

Fenomena fatherless sejatinya bukan sekadar problem keluarga, melainkan juga problem sosial dan nasional. Anak-anak yang tumbuh tanpa bimbingan ayah cenderung mengalami masalah psikologis, kesulitan membangun karakter, dan rentan terjerumus pada pergaulan negatif. Dalam Islam, posisi orang tua, khususnya ayah, sangatlah penting. Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah hadis:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis tersebut menegaskan bahwa ayah memiliki tanggung jawab besar terhadap keluarganya. Ketika ayah mengabaikan perannya, maka bukan hanya keluarga yang dirugikan, melainkan juga masyarakat dan bangsa secara luas.

Oleh karena itu, Abduh menyerukan agar masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan bersama-sama mencari solusi konkret. Pendidikan keluarga harus diperkuat, angka pernikahan dini harus ditekan, lapangan pekerjaan harus diperluas, dan kesadaran ayah dalam pengasuhan harus ditingkatkan. Tanpa langkah nyata, fenomena fatherless akan terus menjadi luka sosial yang sulit disembuhkan.

Indonesia saat ini memang tengah berada di persimpangan jalan. Jika berhasil memutus rantai fatherless, generasi muda dapat tumbuh dengan kepribadian kuat, sehat, dan berdaya saing tinggi. Namun jika gagal, maka bonus demografi hanya akan menjadi mitos yang meninggalkan kekecewaan besar. Dengan demikian, persoalan fatherless tidak boleh dipandang remeh. Ia adalah alarm keras yang mengingatkan bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh bagaimana kita merawat generasi hari ini.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE