ESENSI PENDIDIKAN DALAM MUHAMMADIYAH

Oleh: Dina Setyaningsih, S.Sos.I., M.Pd.
MPK PDA Jepara
PWMJATENG.COM, Sebelum secara resmi mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, Kiai Ahmad Dahlan telah lebih dahulu memulai sebuah sekolah “modern” pada tahun 1910 dengan delapan orang murid. Pada masa itu, gagasannya dianggap aneh bahkan menuai tuduhan “kiai kafir” karena metode dan media pembelajaran yang ia gunakan berbeda dari tradisi keagamaan yang umum kala itu. Namun, berbagai tantangan tersebut tidak membuat Kiai Dahlan mundur. Ia justru terus mengekspresikan pandangan visionernya melalui jalur pendidikan.
Dari sinilah embrio pendidikan modern Muhammadiyah lahir—pendidikan yang tidak hanya maju, tetapi maju dengan kualitas dan arah yang jelas. Selama satu abad pertama, kontribusi Muhammadiyah dalam dunia pendidikan menjadi salah satu fondasi penting bagi kemajuan bangsa Indonesia.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa merawat pendidikan Muhammadiyah berarti merawat Indonesia. Sistem pendidikan Muhammadiyah memiliki karakteristik unik dan landasan ideologis yang kuat, sehingga tetap stabil meskipun sistem pendidikan nasional sering berubah mengikuti kebijakan pemerintah.
Meski demikian, prestasi yang telah diraih masih menyisakan pertanyaan penting: bagaimana sebenarnya metode pendidikan Kiai Dahlan sehingga gerakan ini tetap eksis dan berpengaruh hingga kini?
1. Mendidik dengan Teladan Berbasis Al-Qur’an
Kiai Dahlan mendidik dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai fondasi utama, baik secara ideologis maupun praktis. QS. Ali ‘Imran ayat 104 menginspirasi pendirian Muhammadiyah; teologi al-Ma’un (QS. 107) membentuk semangat pemberdayaan kaum lemah; dan teologi al-‘Ashr (QS. 103) menjadi etos kemajuan.
Beliau mengajarkan Al-Qur’an bukan hanya untuk dihafal, tetapi dihayati dan diamalkan. QS. al-Ma’un diajarkan selama tiga bulan, sedangkan QS. al-‘Ashr diajarkan selama delapan bulan. Ini adalah praktik pembelajaran tuntas, jauh sebelum konsep tersebut dikenal dalam dunia pendidikan modern.
Kiai Dahlan mendidik tanpa pamrih, penuh kasih sayang, dan tidak terikat kepentingan kekuasaan. Pesan beliau jelas:
“Jadilah kiai yang maju, jangan lelah bekerja untuk Muhammadiyah. Jadilah ulama-intelektual yang progresif dan terus beramal tanpa henti.”
Etos al-Ma’un dan al-‘Ashr menjadi dua pilar utama pendidikan Muhammadiyah. Etos pertama mengajak untuk peduli kepada kaum dhuafa; etos kedua menegaskan pentingnya kualitas, profesionalitas, dan budaya akademik yang maju.
Jika suatu sekolah Muhammadiyah mengabaikan kaum dhuafa atau terjebak dalam kapitalisme pendidikan, maka sekolah itu kehilangan ruhnya. Sebaliknya, contoh Kiai Dahlan selalu menunjukkan bahwa kasih sayang adalah inti dari pendidikan Muhammadiyah.
2. Mendidik dengan Sikap Toleransi
Kiai Dahlan dikenal sebagai tokoh yang ramah, terbuka, dan mampu berinteraksi dengan siapa pun, termasuk mereka yang berbeda agama, budaya, dan etnis. Sikap toleransi ini bukan sebatas etika sosial, tetapi bagian dari strategi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi ciri Muhammadiyah.
Persahabatan Kiai Dahlan dengan Pastor Katolik van Lith adalah salah satu kisah historis yang mencerminkan keluasan pandang beliau. Melalui dialog yang intens, Kiai Dahlan mendapatkan inspirasi untuk mendirikan Kweekschool Muhammadiyah, yang kemudian berkembang menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, lembaga penting pencetak kader persyarikatan.
Bagi Kiai Dahlan, toleransi berarti saling membantu dan memajukan kehidupan bersama, terutama melalui penyediaan pendidikan berkualitas. Jauh sebelum Indonesia merdeka, beliau telah menerapkan nilai-nilai kosmopolitan dan kemanusiaan universal.
3. Mendidik dengan Niat Tulus
Ketulusan Kiai Dahlan dalam membangun pendidikan sudah terbukti sejak awal. Ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 × 6 meter diwakafkan untuk dijadikan sekolah, yang kemudian dinamakan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah (1911).
Meski menghadapi penolakan keras dari masyarakat Kauman, beliau tetap tersenyum dan bersemangat. Semakin banyak murid berdatangan, semakin berat pula perjuangannya. Untuk memastikan madrasah tetap bertahan, Kiai Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama para muridnya pada 18 November 1912.
Bahkan menurut Churiyyah, cucunya, Kiai Dahlan kerap melelang barang-barang dirumah demi membangun sekolah dan memperjuangkan dakwah. Ketulusan seperti ini jarang ditemukan pada era sekarang.
4. Mendidik dengan Semangat Inovasi
Kiai Dahlan mengajarkan bahwa gerakan pendidikan harus selalu berinovasi. Nilai ini terus hidup dalam Muhammadiyah hingga abad kedua keberadaannya.
Tema-tema besar Muktamar Muhammadiyah menegaskan hal tersebut:
- Muktamar ke-46 (2010): Islam Berkemajuan
- Muktamar ke-47 (2015): Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan
- Muktamar ke-48 (2022): Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta
Tema-tema ini bukan slogan, tetapi arah gerakan agar Muhammadiyah menjadi pencerah dalam seluruh aspek kehidupan: pendidikan, ekonomi, budaya, hingga politik kebangsaan.
Pendidikan Muhammadiyah harus terus melakukan reorientasi gerakan—tidak hanya membangun banyak sekolah, tetapi juga menjadi solusi atas persoalan bangsa, khususnya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia di abad ke-21.
Pendidikan dalam Muhammadiyah adalah warisan visioner Kiai Dahlan yang dibangun melalui keteladanan, toleransi, ketulusan, dan inovasi. Esensi pendidikan ini telah menopang berdirinya ribuan sekolah, perguruan tinggi, dan lembaga pendidikan yang memberi kontribusi nyata bagi bangsa.
Tugas kita hari ini adalah merawat warisan tersebut, memastikan pendidikan Muhammadiyah tetap peduli pada kaum lemah, menghasilkan generasi cendekia berkarakter, dan terus menjadi kekuatan pencerahan bagi Indonesia.
Editor: Al-Afasy



