Ekonomi Kreatif dan Gig Economy: Solusi atau Ancaman bagi Ketenagakerjaan Formal?

PWMJATENG.COMΒ βΒ Perkembangan teknologi digital dalam dua dekade terakhir melahirkan lanskap baru dalam dunia kerja. Istilah seperti “ekonomi kreatif” dan “gig economy” kini menjadi bagian tak terpisahkan dari percakapan tentang masa depan tenaga kerja. Di satu sisi, keduanya menawarkan peluang baru yang fleksibel, inovatif, dan memberdayakan. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa tren ini justru bisa menjadi ancaman bagi ketenagakerjaan formal yang stabil dan terstruktur.
Ekonomi kreatif merujuk pada sektor ekonomi yang mengandalkan ide, kreativitas, dan inovasi sebagai faktor utama produksi. Sektor ini mencakup beragam bidang, mulai dari seni pertunjukan, desain, arsitektur, kuliner, hingga konten digital seperti film dan video gim. Sementara itu, gig economy adalah sistem kerja berdasarkan proyek jangka pendek atau tugas-tugas lepas, yang biasanya diperantarai oleh platform digital seperti Gojek, Grab, Upwork, dan Fiverr.
Fenomena ini mendapat sambutan hangat, terutama di kalangan generasi muda. Banyak yang melihat gig economy sebagai jalan pintas menuju kemandirian finansial tanpa terikat kontrak kerja yang kaku. Fleksibilitas waktu dan tempat menjadi daya tarik utama. Di tengah ekonomi yang fluktuatif dan persaingan kerja yang ketat, menjadi pekerja lepas dinilai lebih adaptif dan menjanjikan penghasilan yang relatif kompetitif.
Namun demikian, tidak sedikit pihak yang menyoroti sisi gelap dari ekonomi baru ini. Para pekerja gig sering kali tidak mendapat perlindungan sosial sebagaimana pekerja formal. Mereka tidak memiliki jaminan kesehatan, tunjangan hari tua, ataupun perlindungan hukum dalam kontrak kerja. Ketika terjadi pemutusan hubungan kerja sepihak oleh platform digital, mereka tidak memiliki kekuatan tawar yang memadai.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2024 tercatat lebih dari 30 persen pekerja di Indonesia terlibat dalam pekerjaan informal, termasuk sektor gig. Ini menunjukkan bahwa ketenagakerjaan informal makin mendominasi, menggusur model kerja tradisional. Di satu sisi, hal ini mencerminkan dinamika pasar kerja yang makin cair dan terbuka. Namun di sisi lain, hal ini menjadi indikator lemahnya perlindungan sosial dan regulasi ketenagakerjaan.
Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia pernah menyatakan bahwa gig economy tidak boleh dipandang sebagai solusi tunggal atas masalah pengangguran. βKita tetap membutuhkan sistem kerja formal yang menjamin kepastian kerja, keadilan upah, dan perlindungan sosial,β ujarnya dalam sebuah forum kebijakan publik tahun lalu.
Baca juga, Bahagia dan Sengsara: Antara Takdir dan Pilihan, Inilah Rumus Kehidupan Menurut Al-Qurβan
Persoalan lainnya adalah disparitas keterampilan digital. Tidak semua pekerja siap menghadapi tantangan dan tuntutan ekonomi digital. Mereka yang tertinggal dalam penguasaan teknologi akan semakin terpinggirkan. Di sinilah peran pemerintah dan lembaga pendidikan menjadi krusial. Pelatihan vokasi, inkubasi usaha kreatif, serta perluasan akses digital harus menjadi prioritas.
Di tengah polemik ini, muncul usulan untuk merekonstruksi ulang sistem perlindungan ketenagakerjaan. Salah satunya adalah dengan menghadirkan skema jaminan sosial universal yang mencakup pekerja lepas. Selain itu, pengakuan legal atas status pekerja gig juga perlu diatur dalam perundang-undangan. Negara-negara seperti Inggris dan Australia mulai menerapkan perlindungan khusus bagi para pekerja platform digital.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa ekonomi kreatif dan gig economy telah memberikan sumbangsih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor kreatif menyumbang lebih dari 7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sementara gig economy menjadi penyerap tenaga kerja yang signifikan di tengah ketidakpastian global. Namun sumbangsih ini tidak boleh dibayar mahal dengan mengorbankan hak-hak pekerja.
Solusi terbaik bukanlah memilih antara kerja formal atau gig economy, tetapi merancang integrasi keduanya dalam sistem ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan adaptif. Dibutuhkan regulasi yang mampu menjawab tantangan zaman tanpa menegasikan perlindungan dasar bagi semua pekerja.
Kunci dari semua itu adalah kolaborasi: antara pemerintah, dunia usaha, komunitas kreatif, dan akademisi. Kebijakan ketenagakerjaan yang cerdas harus berbasis data, responsif terhadap disrupsi teknologi, dan berpihak pada keadilan sosial. Pendidikan dan pelatihan berbasis kebutuhan industri juga harus diselaraskan agar tenaga kerja Indonesia tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku utama dalam ekonomi baru ini.
Dengan demikian, ekonomi kreatif dan gig economy bukanlah ancaman jika dikelola dengan cermat. Justru, keduanya bisa menjadi solusi atas stagnasi ketenagakerjaan formal, selama diiringi kebijakan yang adil dan berkeadilan sosial. Masa depan kerja bukan soal memilih bentuk kerja, melainkan menjamin martabat dan hak pekerja dalam segala bentuk pekerjaan.
Ass Editor : Ahmad; Editor :Β M Taufiq Ulinuha