
PWMJATENG.COM, Surakarta – Upaya memperkuat posisi perguruan tinggi Indonesia di kancah global kembali menjadi perhatian serius pemerintah. Direktur Kelembagaan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendiktisaintek) Mukhamad Najib menegaskan bahwa internasionalisasi perguruan tinggi bukan sekadar soal peringkat dunia, melainkan tentang membangun ekosistem riset yang berdaya saing global dan berkelanjutan.
Hal tersebut ia sampaikan dalam Annual Meeting Asosiasi Kantor Urusan Internasional (ASKUI) Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) 2025 yang berlangsung di Hotel Alana, Senin–Rabu (20–22/10). Kegiatan ini dihadiri oleh delegasi dari 45 PTMA di seluruh Indonesia.
Najib menjelaskan, jumlah perguruan tinggi di Indonesia mencapai sekitar 4.300 institusi, jauh lebih banyak dibandingkan Tiongkok yang hanya memiliki sekitar 2.400. Namun, jumlah yang besar itu belum berbanding lurus dengan kualitas. “Kampus di Indonesia memang banyak, tapi yang masuk top dunia masih sangat sedikit. Ranking itu cerminan dari kualitas akademik dan riset,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa tujuan internasionalisasi bukan sekadar mengejar posisi di QS World University Rankings, melainkan bagaimana kampus mampu menarik talenta global dan memperkuat jaringan riset internasional. Menurutnya, indikator yang digunakan dalam pemeringkatan QS meliputi reputasi akademik, reputasi lulusan di dunia kerja, rasio dosen dan mahasiswa, jumlah dosen serta mahasiswa internasional, dan sitasi per fakultas.
“Masalah kita ada pada tiga hal utama: rendahnya sitasi per publikasi, minimnya mahasiswa asing, dan terbatasnya jejaring riset internasional,” kata Najib. Ia mencontohkan, sitasi per kapita tertinggi di Indonesia hanya mencapai 2,6 dan dimiliki ITB, sedangkan universitas di Malaysia bisa mencapai angka 40.
Malaysia, lanjutnya, sukses menarik ribuan mahasiswa asing karena ekosistemnya mendukung, termasuk penggunaan bahasa Inggris dalam perkuliahan. “Di sana, banyak kelas internasional yang membuat mahasiswa asing mudah beradaptasi. Di Indonesia, ini masih jadi tantangan,” tambahnya.
Untuk memperbaiki hal tersebut, pemerintah kini memfasilitasi kolaborasi riset lintas negara dan membangun repositori nasional agar hasil penelitian dosen Indonesia dapat diakses secara luas. “Banyak penelitian kita bagus, tapi sulit ditemukan. Dengan repository ini, peneliti Indonesia bisa saling memperkuat,” jelasnya.
Najib juga menekankan pentingnya sinergi antara perguruan tinggi negeri dan swasta, termasuk antar-PTS. “Kalau kita saling berkolaborasi, akan muncul ledakan inovasi besar. Bukan hanya dengan luar negeri, tapi juga antarpeneliti dalam negeri,” tuturnya.
Baca juga, Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1447 H
Dalam konteks internasionalisasi mahasiswa, Najib memaparkan dua program beasiswa yang kini dikelola pemerintah, yakni The Indonesian AID Scholarship (TIAS) dan Kemitraan Negara Berkembang (KNB). Program tersebut bertujuan memperkuat kerja sama antarnegara dengan mengundang mahasiswa luar negeri belajar di Indonesia. “Saat ini, UMS dan Universitas Muhammadiyah Malang sudah bergabung dalam program itu,” katanya.
Ia menegaskan bahwa arah internasionalisasi PTMA ke depan harus berorientasi pada kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). “Kita ingin kampus menjadi Kampus Berdampak. Ukuran keberhasilan bukan hanya riset, tapi juga kontribusi terhadap isu global seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan,” ujarnya.
Najib menilai Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan riset kelas dunia karena banyak isu lokal yang bernilai global. “Kasus stunting, pemberdayaan ekonomi, hingga sistem sosial di desa bisa menjadi bahan riset kelas dunia. Kita hanya perlu mengemasnya secara ilmiah,” tuturnya.
Menutup paparannya, Najib mengajak PTMA menjadikan internasionalisasi sebagai jalan dakwah Islam berkemajuan. “Internasionalisasi bukan hanya soal mahasiswa asing atau akreditasi, tapi bagaimana memperkenalkan Islam berkemajuan di tingkat dunia. Melalui kolaborasi riset dan mobilitas akademik, PTMA bisa menjadi jembatan peradaban global,” pungkasnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Jamhari Makruf yang juga Wakil Ketua V Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, menambahkan bahwa untuk menjadi perguruan tinggi kelas dunia, ada tiga hal yang perlu dilakukan: meningkatkan peringkat, memperkuat internasionalisasi, dan memperluas kerja sama global. “Kalau ingin dikenal dunia, mau tidak mau kita harus masuk ekosistem global,” ujarnya.
Jamhari juga menyoroti perlunya reformasi sistem riset nasional, terutama pada durasi dan pembiayaan penelitian. “Riset kita sering dibatasi oleh siklus APBN yang pendek. Penelitian yang bagus butuh waktu panjang dan ruang untuk gagal. Kalau gagal dianggap tidak berhasil, maka inovasi tidak akan pernah tumbuh,” tegasnya.
Kontributor : Fika
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha