Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)
PWMJATENG.COM – “Jika Allah sudah mengatur dan menggerakkan, maka tidak ada penghalang yang bisa menghentikan-Nya.”
Begitu pula dengan pengalaman saya, awalnya hanya mengenal Kiai Cepu melalui media. Saat mengikuti Pengkajian Ramadhan 1445 di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), saya berkesempatan mengikuti materi yang disampaikan oleh beliau bersama Ustaz Dr. Hc. Adi Hidayat dan Ustazah Oky dengan tema “Dakwah Kultural dan Seni Budaya.”
Kyai Cepu adalah seorang dosen filsafat di UIN Syarif Hidayatullah, dosen di Sekolah Tinggi Saintek, dan dosen di Sekolah Budha Jakarta. Selain itu, beliau juga merupakan Ketua PCIM Rusia, anggota Tim Mufasir Tafsir At-Tanfir Muhammadiyah, serta Wakil Ketua LSB PP Muhammadiyah.
Dari Kader Ikatan Menjadi Tokoh Persyarikatan
Jenjang perkaderan Kyai Cepu dimulai dari Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) saat bersekolah di sebuah SMK Muhammadiyah di Jakarta. Di sanalah beliau menjadi aktivis dakwah yang handal dan militan. Kebiasaan membaca buku dan novel membentuk jiwa seninya dengan matang, sehingga banyak buku dan puisi yang beliau tulis.
Ada sebuah kisah menarik saat Kiai Cepu ingin membaca novel yang dilarang oleh pemerintah. Sebelum membaca, beliau berdoa, “Tuhan, izinkan aku membaca novel ini untuk menguji imanku.” Dari situ, beliau belajar mengendalikan diri dan memahami betapa pentingnya iman yang tertanam di hati agar tidak berbuat buruk.
Dakwah di Kalangan Kaum Termarginalkan
Sebelum menyelesaikan kuliah di Rusia, Kiai Cepu berdakwah di dunia yang gelap, termasuk di kalangan pengguna NAPZA, pemandu diskotek, dan wanita penghibur. Dengan tekad kuat, beliau berharap suatu saat orang-orang ini akan mendapatkan hidayah keimanan. Pentingnya ilmu dakwah, peta dakwah, dan metodologi dakwah menjadi sangat jelas dalam pengalaman beliau.
Baca juga, Sirah Nabawiyah: Kelahiran dan Pendidikan Awal Nabi Muhammad Saw.
Ada cerita nyata tentang seorang pemandu diskotek yang bertanya kepada Kiai Cepu, “Pak Kai, bagaimana hukumnya bekerja di diskotek?” Kyai Cepu menjawab bahwa secara syariat memang haram, tetapi secara kaidah fikih, bisa haram dan bisa juga halal karena fikih adalah urusan privasi.
Cerita lainnya adalah tentang seorang pemabuk yang ingin mengikuti pengajian. Kiai Cepu memperbolehkannya. Setelah tiga tahun, pemabuk itu sadar, berkeluarga, dan anaknya menjadi seorang ustaz.
Pengalaman dakwah Kiai Cepu mengajarkan kita sebagai aktivis untuk berdakwah dengan lemah lembut, hikmah, dan kasih sayang (Q.S. An-Nahl 125), bukan dengan mencaci maki. Akhlak yang baik, ilmu retorika dakwah, menguasai medan dakwah, serta ilmu syariat dan fikih sangatlah penting.
Fikih adalah alat untuk menjawab problematika kehidupan manusia. Hukum fikih bisa berubah sesuai waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang dinamis sesuai dengan kaidah “Shalih li kulli zaman wa makan” (selaras dengan keadaan tempat dan waktu).
Dari pengalaman belajar dengan Kiai Cepu, saya merasakan adanya nilai-nilai yang mencerahkan. Bahkan, beliau pernah mengirim pesan lewat WhatsApp yang berbunyi, “Semoga ada hikmah dan berkah, Pak Zul.” Itulah seorang guru yang memiliki ikatan batin dengan santrinya. Walaupun hanya menjadi santri dalam waktu singkat, saya merasakan kedekatan dan mendapatkan banyak pelajaran berharga dari Kyai Cepu.
Editor : M Taufiq Ulinuha