“Dipaksa Bersujud” Sebuah Refleksi tentang Kekuasaan Tuhan di Tengah Hegemoni Rasionalisme

“Dipaksa Bersujud” Sebuah Refleksi tentang Kekuasaan Tuhan di Tengah Hegemoni Rasionalisme
Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Dalam sebuah pertarungan tinju, tersaji sebuah kisah yang melampaui sekadar adu fisik di atas ring. Seorang petinju Barat yang selama ini dikenal gemar mengolok-olok tradisi keagamaan khususnya sujud kemenangan seorang petinju Muslim, akhirnya harus menerima kenyataan pahit. Dalam waktu kurang dari satu menit, ia tersungkur di atas kanvas, tak berdaya oleh pukulan keras lawannya. Ironisnya, ia jatuh dalam posisi seolah sedang bersujud, sebuah simbol yang sebelumnya ia ejek dengan pongah. Seolah-olah alam semesta sedang mengirim pesan: “Jangan pernah meremehkan keyakinan yang bersandar pada kekuatan Ilahi.”
Peristiwa ini bukan hanya tentang dua petinju, tapi tentang dua pandangan dunia yang saling berhadapan sebuah benturan simbolik antara sekularisme dan keimanan, antara keyakinan terhadap kuasa manusia semata dan pengakuan akan kuasa Tuhan.
Dunia Barat telah lama menjadi simbol kemajuan, dengan rasionalisme, liberalisme, dan sekularisme sebagai pilar ideologinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, melahirkan masyarakat yang sejahtera secara material. Banyak yang kemudian meyakini bahwa kebahagiaan dan kesuksesan manusia hanya bisa dicapai melalui akal, data, dan inovasi, sementara agama dianggap sebagai warisan masa lalu yang tidak lagi relevan di era modern.
Namun, kisah ini memberi pelajaran penting. Bahwa sehebat apa pun manusia, secerdas apa pun pemikirannya, ada sesuatu yang jauh lebih besar yang menentukan segalanya: takdir dan kehendak Allah. Bahwa hidup bukan hanya soal hitungan logika dan kekuatan otot—tetapi juga soal keberkahan, keikhlasan, dan doa. Ketika manusia melupakan peran Tuhan dalam hidupnya, maka kadang dunia sendiri yang akan “memaksanya” untuk mengingat dengan cara yang tak pernah diduga.
Dalam sejarahnya, umat Islam memang pernah berada di puncak kejayaan. Ilmu pengetahuan, etika, peradaban, dan spiritualitas bersatu membentuk peradaban agung. Namun, karena konflik internal, cinta dunia, dan kejumudan dalam berpikir, umat Islam mengalami kemunduran. Meskipun begitu, sejarah juga mencatat banyak ulama dan pembaru yang mencoba membangkitkan kembali ruh keislaman di tengah arus modernitas.
Baca juga, Memberikan Makanan Bergizi bagi Anak, Wajibkah?
Sayangnya, stereotip yang terbangun di dunia Barat masih sering menggambarkan Islam sebagai simbol kemunduran, keterbelakangan, atau kekolotan. Hal ini tercermin dalam banyak sikap, termasuk dalam olahraga yang seharusnya menjunjung sportivitas. Namun, kejadian ini menjadi tamparan keras: bahwa keyakinan kepada Tuhan bukanlah kelemahan, tetapi sumber kekuatan sejati.
Allah menunjukkan dengan cara yang tak terduga bahwa tidak ada kekuatan manusia yang benar-benar mutlak. Bahwa kemenangan tidak hanya milik yang kuat secara fisik, tetapi milik mereka yang percaya dan bersandar kepada-Nya. Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa spiritualitas dan keimanan bukan sekadar simbol, melainkan kekuatan nyata yang membentuk mentalitas, keteguhan hati, dan keberanian.
Sebagai umat Islam, kita dituntut untuk terus berusaha, belajar, berpikir, dan memaksimalkan segala potensi yang telah Allah titipkan kepada kita. Tapi di balik semua itu, kita juga harus menyadari bahwa hasil akhir adalah milik Allah semata. Bahwa hidup ini bukan hanya tentang kerja keras, tetapi juga tentang tawakal berserah diri sepenuhnya setelah ikhtiar maksimal.
Inilah makna sejati dari sujud bukan hanya posisi tubuh, tapi simbol tunduknya hati dan jiwa kepada Yang Maha Kuasa. Sujud adalah pengakuan bahwa manusia tidak sempurna, dan bahwa dalam segala pencapaian, ada campur tangan Tuhan yang tidak boleh dilupakan.
Semoga kita tidak menjadi manusia yang harus “dipaksa bersujud” oleh keadaan, melainkan hamba yang sadar diri, bersujud dengan penuh kesadaran, syukur, dan cinta sebagai dari keyakinan tauhid kita. Wallahu a’lam.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha