Din Syamsuddin Sentil Presiden
Semarang – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin, MA menganggap pemerintah telah melakukan kebohongan kepada rakyat. Kebohongan bukan artian disengaja berbohong, melainkan ketakmampuan pemimpin dalam melaksanakan ucapannya sendiri sehingga menimbulkan persepsi publik yang berbeda.
“Wajar jika banyak lontaran kritik yang diulang terutama yang menyoroti kesenjangan antara ucap dan laku pemerintah. Ini fakta, bukan asumsi. Yang paling menohok publik ialah perkataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berkomitmen memimpin langsung gerakan antikorupsi. Tapi ternyata korupsi makin merajalela diawali dengan skandal Century hingga terungkapnya mafia pajak dan hukum,” katanya, dalam acara pembukaan Musda Muhammadiyah Kota Semarang dan pelantikan Pemuda Muhammadiyah Jateng di Balai Kota Semarang.
Padahal, dalam kasus Century, tutur dia, sudah dibentuk pansus di DPR, adanya rekomendasi BPK terjadi penyelewengan, dibahas berbagai tokoh agama dan masyarakat, tetapi ternyata kasusnya masih menggelinding tanpa penyelesaian.
“Jelas tidak ada good will dan political will pemerintah untuk menyelesaikan masalah itu. Padahal kalau mau, langkah tersebut bisa membuka akar korupsi di Indonesia,” ungkapnya.
Menurutnya, kasus Gayus hanyalah bongkahan gunung es, yang di atasnya kecil, tapi di bawahnya besar. “Seharusnya, dijadikan momentum untuk mengejar Gayus-Gayus lain, bahkan kakap dan hiunya. Ini kesempatan, tapi tidak dilakukan aparat penegak hukum yang langsung dikoordinir Presiden,” lanjutnya.
PENGGANTIAN TERNAK
Kejadian lain yang menurut Din memalukan yakni, janji pemerintah untuk mengganti hewan ternak para korban letusan Merapi yang hingga kini tidak direalisasi serta janji untuk membekali para TKW dengan ponsel.
Din mengaku tidak bisa menebak dibalik sikap pemerintah yang berbohong itu. “Yang jelas, antara kemauan dan ketidakmampuan. Namun, lebih mengarah pada gejala pengabaian terhadap rakyat demi pencitraan sehingga seluruh masalah dianggap selesai,” selorohnya.
Untuk itu, kata dia, wajar jika tokoh agama dan masyarakat geram karena merasa andil memiliki negara ini dan bertanggung jawab terhadap masa depan Indonesia. “Ini bagian kewajiban seorang Muslim melakukan amar makruf nahi munkar,” katanya.
Gerakan moral dan penentangan pembohongan terhadap rakyat, kata dia, tak boleh berhenti demi kemajuan bangsa. Ke depan, pemerintah dari presiden hingga menteri, jangan hanya kuat dalam tataran konsep, tetapi lemah dalam implementasi. “Sementara untuk kasus-kasus yang merugikan masyarakat, pemerintah jangan sampai mempetieskan lagi,” tandasnya. (Din/SM)