Demo Membara di Sejumlah Kota, IMM Blora Serukan Dialog Damai

PWMJATENG.COM, Blora – Gelombang aksi kembali memanas di sejumlah kota besar Indonesia. Jakarta, Surabaya, Semarang, hingga Makassar dipenuhi massa yang menuntut perubahan. Suara rakyat terdengar lantang, namun di tengah semangat itu, wajah demokrasi kembali tercoreng. Sejumlah kelompok melakukan tindakan anarkis, mulai dari pelemparan fasilitas umum, pembakaran halte, hingga perusakan jalan yang membuat transportasi lumpuh.
Tragedi tak terhindarkan dalam kericuhan tersebut. Seorang pemuda bernama Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, meninggal setelah tertabrak kendaraan taktis saat aksi berlangsung. Rekaman kejadian itu menyebar luas di media sosial, meninggalkan duka sekaligus menyulut amarah masyarakat.
Konstitusi memang menjamin kebebasan menyampaikan aspirasi. Namun, hukum juga memberi batasan tegas. Pasal 170 KUHP menyebutkan, setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap fasilitas publik dapat dipidana hingga lima tahun enam bulan. Sementara itu, Pasal 406 KUHP mengatur ancaman hukuman bagi mereka yang merusak barang milik orang lain. Artinya, perjuangan yang mengabaikan hukum hanya akan melahirkan luka baru.
Di tengah suasana panas, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyerukan pesan menyejukkan. Ia mengimbau masyarakat menahan diri, menghentikan kekerasan, dan kembali ke jalan dialog. Menurutnya, Indonesia hanya bisa berdiri kokoh jika rakyat bersatu, bukan terpecah karena amarah.
Baca juga, Fungsi Rasionalitas dalam Memahami Syariat Islam
Pesan senada juga disampaikan Ketua Bidang Hikmah, Politik, dan Kebijakan Publik, Joko Supriyanto dari PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Blora. Ia menegaskan, demonstrasi adalah hak yang sah, tetapi harus dilakukan dengan cara bermartabat.
“Ketika aksi berubah menjadi kerusuhan, yang paling menderita justru masyarakat kecil. Fasilitas yang rusak bukan hanya merugikan pemerintah, tetapi juga warga yang setiap hari membutuhkannya,” ujarnya.
IMM menekankan bahwa kritik tetap penting, bahkan wajib. Namun, penyampaiannya harus cerdas, etis, dan berlandaskan nilai kemanusiaan. Menurut Joko, perubahan besar tidak lahir dari kerusuhan di jalan, melainkan dari pemikiran yang jernih dan perjuangan yang tercerahkan.
Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga. Suara rakyat memang harus didengar, tetapi cara menyuarakannya perlu dilakukan secara beradab. Bangsa Indonesia, sebagaimana ditegaskan IMM, tidak membutuhkan lebih banyak luka. Yang dibutuhkan justru harapan dan jalan keluar yang menyatukan.
“IMM hadir untuk memastikan bahwa suara rakyat terus menggema tanpa harus menyalakan api anarki,” tambah Joko.
Kontributor : Joko
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha