Dari Mina ke Media Sosial: Tantangan Menjaga Kemabruran di Era Digital

PWMJATENG.COM – Ibadah haji merupakan puncak perjalanan spiritual umat Islam. Di tengah hiruk pikuk Mina, lempar jumrah menjadi simbol perlawanan terhadap hawa nafsu dan godaan dunia. Namun, tantangan menjaga kemabruran haji tidak berhenti ketika jamaah meninggalkan Tanah Suci. Justru, ujian yang sesungguhnya dimulai ketika kembali ke tanah air, termasuk di era digital yang penuh dengan distraksi, khususnya media sosial.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
ٱلْحَجُّ أَشْهُرٌۭ مَّعْلُومَـٰتٌۭ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ ٱلْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِى ٱلْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا۟ مِنْ خَيْرٍۢ يَعْلَمْهُ ٱللَّهُ ۗ
“Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Maka barang siapa yang menetapkan niat dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (kata-kata kotor), berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Ayat ini menunjukkan bahwa nilai-nilai spiritual dari ibadah haji harus dijaga bahkan setelah rangkaian ibadah selesai. Kemabruran haji bukan sekadar status, melainkan hasil dari transformasi akhlak dan perilaku yang berkelanjutan.
Namun, di era digital, media sosial sering kali menjadi ruang ujian baru. Banyak jamaah yang baru kembali dari haji langsung membagikan dokumentasi perjalanannya, bahkan hingga hal-hal yang bersifat riya atau pamer. Tentu, berbagi pengalaman bukanlah sesuatu yang terlarang, tetapi niat di balik unggahan tersebut harus dijaga.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Media sosial bisa menjadi sarana dakwah, tempat berbagi inspirasi, dan edukasi spiritual, jika digunakan dengan niat yang benar. Namun, di sisi lain, ia juga bisa menjadi jalan tergelincirnya kemabruran jika disalahgunakan untuk mencari pujian, pengakuan, atau memperlihatkan ibadah dengan tujuan duniawi.
Baca juga, Makna Hakiki Ibadah Kurban: Menyembelih Ego, Menebar Kepedulian
Fenomena lainnya adalah komentar negatif yang muncul dalam interaksi digital. Kemabruran tidak hanya teruji di Mina atau saat wukuf di Arafah, tetapi juga ketika seseorang diuji untuk tidak terpancing berdebat atau menyebarkan ujaran kebencian di media sosial. Dalam konteks ini, menjaga lisan berarti juga menjaga tulisan dan unggahan digital.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tantangan lain adalah godaan untuk kembali pada kebiasaan buruk sebelum haji, seperti bergosip, konsumtif, atau malas beribadah. Media sosial bisa memperkuat kebiasaan tersebut jika tidak dikelola dengan bijak. Oleh karena itu, penting bagi seorang haji untuk menjadikan media sosial sebagai media pengingat, bukan pelupa.
Kemabruran haji bukanlah hasil dari perjalanan fisik semata, melainkan buah dari perubahan batin. Transformasi spiritual yang dimulai dari Mina harus diteruskan ke setiap aspek kehidupan, termasuk cara kita bersikap di dunia digital.
Maka, dalam menjaga kemabruran di era digital, diperlukan kesadaran spiritual yang tinggi. Haji yang mabrur adalah haji yang meninggalkan jejak perubahan—bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada lingkungan sekitarnya, termasuk dunia maya.
Dengan demikian, kemabruran sejati tidak diukur dari banyaknya “like” atau komentar positif di media sosial, melainkan dari sejauh mana kita mampu menahan diri, berkata baik, dan menebar manfaat dalam setiap interaksi, baik di dunia nyata maupun digital.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha