BeritaKolom

Dakwah Kultural

Dakawah Kultural

Oleh : Khafid Sirotudin*

PWMJATENG.COM – Kami menerima amanah sebagai Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Kabupaten Kendal pasca Reformasi 1998 (1999-2003) dengan segala warisan dinamika organisasi di masa Orde Baru. Dari 16 kecamatan yang ada waktu itu (sekarang 20 kecamatan) hanya terdapat 4 PCPM yang secara de facto dan de jure aktif. Sisanya out of date dengan berbagai permasalahan yang melingkupi. Ada yang pengurus intinya pindah domisili ke luar daerah dan luar pulau, ada pula yang gagal Musycab karena dibubarkan aparat di masa itu.

Berangkat dari berbagai permasalahan tersebut, kemudian kami melakukan pemetaan masalah, merumuskan permasalahan yang dihadapi PCPM kemudian mencari solusinya. Langkah awal yang kami lakukan adalah silaturahmi dan berkeliling mengunjungi PC Muhammadiyah di setiap kecamatan. Kami temui juga personil PCPM yang masih ada guna mendapatkan data dan informasi shahih terkait mati surinya organisasi di akar rumput. Tentunya sambil mengajak, merayu dan memotivasi agar mau kembali aktif di Pemuda Muhammadiyah.

Sebagai Ketua PDPM saya menyadari bahwa sebagian besar mereka yang berkhidmat di PM berprofesi sebagai PNS terutama guru SD/SMP/SMA, dan sebagian menjadi staf di Pemda dan perangkat desa. Sebuah profesi yang rentan dengan tekanan politik yang represif di jaman Orde Baru. Kami juga memahami jika ada semacam “hierarchy of fear” (hirarki ketakutan) di kalangan PNS dan aparatur pemerintahan. Staf takut kepada Kasi, Kasi takut terhadap Kabag, Kabag takut terhadap Kadinas, Kadinas tunduk dan patuh kepada Sekda, dan Sekda takut kepada Bupati.

Tetapi jaman sudah berubah dan telah memasuki Era Reformasi. Sebagai mantan aktivis mahasiswa dan aktivis pergerakan reformasi 1998 kami memiliki keyakinan bahwa situasi dan kondisi sudah berubah dan harus terjadi perubahan yang lebih baik. Selain komunikasi internal persyarikatan, kami juga melakukan komunikasi dengan berbagai Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terhimpun dalam AMAK-REDA (Aliansi Masyarakat Kendal Pro Reformasi Damai) dan KNPI Kabupaten Kendal. Kebetulan saya ditunjuk sebagai koordinator aliansi dan aktif sebagai anggota KNPI yang diketuai warga persyarikatan sebagai eselon 2 Pemerintah Daerah Kendal.

Pagelaran Wayang

Akhirnya PDPM Kendal merumuskan sebuah program dan kegiatan yang kami yakini mampu membangkitkan aktivitas keorganisasian PDPM dan PCPM. Kami memilih program dengan mengadakan pagelaran wayang kulit di alun-alun kota Kendal seiring memperingati Hari Sumpah Pemuda. Kegiatan yang bersifat kultural dan belum pernah diselenggarakan oleh Pemda Kendal maupun Ormas manapun saat itu. Apalagi panggung untuk pakeliran wayang dengan sengaja menghadap ke arah timur, yang membutuhkan keberanian tersendiri bagi penyelenggara terkait banyaknya mitos dan takhayul yang kami dengar dari banyak kalangan.

Walakin kami memilih dalang kondang Ki Enthus Susmono dari Tegal. Dan Maryono, guru SMPN Singorojo dan Wakil Ketua PDPM, sebagai Ketua Panitia pagelaran wayang kulit. Ada beberapa kesepakatan tertulis yang kami buat dengan Ki Enthus. Di antaranya, waranggono (sinden) memakai kerudung; menampilkan lagu Islami (shalawatan dan sejenisnya); pagelaran selesai sebelum waktu Shubuh; dan apabila Ki Enthus “misuh” (mengumpat) selama mendalang maka dipotong Rp 100 ribu untuk sekali umpatan. Alhasil sampai pagelaran selesai Ki Enthus dipotong Rp 800 ribu karena mengumpat sebanyak 8 kali. Saya masih ingat ungkapan beliau keetika mendalang : ”nembe kiye wong Muhammadiyah tumon nanggap wayang nyong, kuwi bae isih dipotong satus ewu sak pisuhan (baru kali ini orang Muhammadiyah mengadakan pagelaran wayang menanggap saya, itupun masih dipotong Rp 100-ribu sekali umpatan)”.

Keberanian (baca : kenekatan) PDPM Kendal untuk mengadakan pagelaran wayang bukan tanpa alasan dan rintangan. Hambatan justru berasal dari beberapa ayahanda Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kendal. Meski 13 orang PDM Kendal kami haturkan undangan resmi dan menemui satu per satu. Hanya 3 orang PDM yang berkenan hadir, sisanya tidak mau dan tidak bisa hadir dengan berbagai alasan. Ada satu pernyataan yang diterima oleh panitia ketika menghaturkan undangan kepada salah satu PDM Kendal : ”Kalau pengajian akbar saya pasti hadir, tapi kalau pagelaran wayang saya tidak mau hadir dan tidak mau menyumbang apapun”.

Kegiatan yang dilaksanakan pada akhir bulan Oktober itu dihiasi dengan hujan deras yang turun sejak siang hingga malam hari. Sebetulnya banyak pihak, termasuk bagian protokoler pemda Kendal, menyarankan untuk mencari pawang hujan dan berziarah ke makam salah satu wali yang ada di Kendal sebelum perhelatan digelar. Namun semua saran tersebut kami dengarkan dan ucapkan terima kasih tanpa pernah kami lakukan. Panitia dan segenap PDPM Kendal yang sudah hadir di lingkungan pendopo kabupaten sejak sorepun sempat deg-degan dengan situasi dan kondisi hujan tanpa reda.

Akhirnya setelah salat maghrib dan isya’ berjamaah di musala Setda Kendal, kami ajak dan pimpin berdoa bersama. Inti doanya memohon kepada Allah Rabbal Alamin untuk menunjukkan Maha Kuasa-Nya agar hujan berhenti sampai pagelaran wayang selesai. Allahu Akbar, hujan berhenti 1 jam sebelum pagelaran dimulai dan hujan kembali turun setelah 1 jam pagelaran selesai sebelum waktu Subuh tiba. Maturnuwun ya Allah Gusti Pangeran ingkang akarya jagad. Pesan moral yang dapat kami ambil hikmahnya, yaitu sebuah keyakinan akan Maha Kuasa-nya Allah, tekad yang kuat dan kerja keras, disertai kepasrahan (tawakal) yang tulus kepada Allah Swt. tidak akan pernah menyelisihi hasil.

Merefresh Dakwah Kultural

Muhammadiyah selama ini distigmatisasi oleh sebagian masyarakat sebagai organisasi yang kurang menghargai budaya atau tradisi. Bahkan ada yang menganggap anti budaya atau anti tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Pimpinan dan warga Muhammadiyah biasanya tidak hadir dalam ritual sosial kemasyarakatan, seperti selamatan kehamilan (Jawa, mitoni), ritual kelahiran dan kematian (ziarah kubur), selamatan kampung (merti desa) dan semacamnya yang selama ini melekat dengan aktivitas masyarakat. Termasuk pagelaran wayang yang barangkali dinilai sebagai sesuatu yang masuk kategori TBC (Takhayul, Bid’ah, Churofat) dan tidak islami.

Barangkali sebagai warga persyarikatan kita lupa jika KH. Ahmad Dahlan mahir bermain biola dan gemar melantunkan nada-nada indah seraya kicauan burung di alam semesta. Bisa jadi kita alpa manakala di setiap perhelatan seremonial persyarikatan, selalu melantunkan bait-bait lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Sang Surya, selain lantunan ayat suci Al-Quran. Tidakkah kita sadar bahwa Muhammadiyah telah berhasil membangun peradaban unggul bagi bangsa dan negara Republik Indonesia dengan ribuan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bidang Sosial, Pendidikan, Kesehatan dan Ekonomi keumatan. Bukankah AUM merupakan hasil karya sebuah “budaya keagamaan” sekaligus monumen amal shalih (“tetenger” peradaban) bagi segenap warga persyarikatan.

Sebenarnya Muhammadiyah sudah cukup antisipatif dalam mensikapi dinamika budaya yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana dirumuskan ke dalam Dakwah Kultural hasil Tanwir Muhammadiyah tahun 2002 di Bali. Seiring perkembangan jaman dan terjadinya kontestasi “ideologi trans-nasional” di kalangan umat dan warga bangsa, maka ihtiar untuk menyegarkan kembali (merefresh), merekonstruksi dan mentransformasikan pendekatan dan orientasi gerakan dakwah di tengah dinamika keagaamaan dan kebangsaan menjadi sebuah kebutuhan. Saya melihat konteks ini dalam kegiatan Pengajian Ramadan PP Muhammadiyah 1445 H di UMY, tanggal 14-16 Maret 2024. Dengan tema “Dakwah Kultural : Perluasan Basis Komunitas dan Akar Rumput Muhammadiyah”.

Sudah saatnya warga dan simpatisan persyarikatan meletakkan tradisi, seni, budaya dan peradaban secara proporsional disertai pemahaman yang baik dalam memaknai budaya secara positif dan konstruktif. Sebagaimana disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah dalam sambutan pada upacara pembukaan Pengajian Ramadan 1445-H, setidaknya ada 3 idiom atau jargon yang memerlukan perpektif Islam Berkemajuan terutama oleh Majlis Tarjih dan Tajdid. Pertama, pandangan atau paham tentang “ar-ruju’ ila al-Qur’an wa as-Sunnah”. Kedua, pandangan tentang Tahayul, Bid’ah dan Churofat (TBC). Ketiga, paham tentang “amar makruf nahi munkar”. Wallahu’alam

*Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah & Ketua Bidang Jaringan dan Diaspora Kader MPKSDI PP Muhammadiyah.

Editor : M Taufiq Ulinuha

Muhammadiyah Jawa Tengah

Muhammadiyah Jawa Tengah adalah gerakan Islam yang mempunyai maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam Jawa Tengah yang sebenar-benarnya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP Radio
WP Radio
OFFLINE LIVE