
PWMJATENG.COM, SurakartaΒ βΒ Membangun brand organisasi tidak cukup hanya dengan desain menarik dan logo keren. Pesan itulah yang disampaikan Rasuli, Koordinator Media Sosial Biro Humas dan Pemeringkatan (BHP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dalam Kelas Digital bertema “Membangun Brand Melalui Media Sosial” yang digelar oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Natural Farmasi UMS, Minggu (8/6).
Menurut Rasuli, media sosial hanyalah alat bantu untuk proses branding, bukan tujuan utama. βKita sering keliru. Fokusnya bukan membangun brand media sosial, tapi bagaimana membangun brand melalui media sosial,β tegasnya di hadapan para peserta yang sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa dan penggiat pers kampus.
Ia menekankan bahwa brand sejati bukan sekadar tampilan visual, melainkan persepsi publik terhadap organisasi. Branding, ujarnya, adalah proses strategis yang menanamkan identitas, nilai, dan citra ke dalam benak audiens.
βBrand itu persepsi, sedangkan branding adalah upaya membentuk persepsi itu. Jadi kalau kalian hanya punya logo, itu belum mencukupi sebagai brand,β ujarnya dengan nada serius.
Dalam sesi interaktif, Rasuli mengajak peserta membedakan antara merek, brand, dan branding. Ia menjelaskan, nama dalam KTP adalah merek, tetapi cara orang mempersepsikan diri kita itulah brand.
βSering kali kita terlalu sibuk mempercantik media sosial, padahal yang lebih penting adalah membangun value dari produk atau organisasi kita,β imbuhnya.
Ia kemudian menguraikan tiga tahapan utama dalam membangun brand, yakni: memahami produk (product insight), mengenali perilaku target audiens (target behavior), serta mengetahui kategori adopsi pasar (adoption category). Rasuli bahkan mengklasifikasikan pasar menjadi lima: inovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard.
Baca juga, Tafsir: Keikhlasan dan Pengorbanan Adalah Fondasi Utama dalam Menjalani Kehidupan Beragama
βSetiap brand pasti menemukan audiensnya, tapi strategi untuk menjangkau mereka harus disesuaikan dengan karakter masing-masing kelompok,β jelasnya.
Lebih lanjut, Rasuli menyarankan agar proses membangun brand dimulai dari riset mendalam mengenai kebutuhan pasar. Setelah itu, barulah ditentukan nilai inti (core value), DNA brand, dan posisi brand (positioning) yang akan ditawarkan.

βBanyak yang langsung membuat logo dan nama. Padahal yang utama adalah memahami dulu produk, target pasar, serta nilai yang ingin disampaikan,β tegasnya.
Menurutnya, brand yang kuat harus memiliki kepribadian dan ajakan bertindak atau call to action (CTA). Bila tidak ada CTA secara langsung, maka harus diperkuat dengan tagline yang mencerminkan nilai dari brand itu sendiri.
βBrand yang kuat punya karakter. Bisa hangat, profesional, inspiratif, atau ramah. Dan semua itu harus tampak di media sosial maupun produk yang kita hasilkan,β terang Rasuli.
Ia menekankan bahwa pesan dan pengalaman yang ditawarkan jauh lebih penting dibanding tampilan luar semata. Sebuah brand yang kuat, katanya, bukan hanya dikenal, tetapi juga mampu dikenang.
βBrand yang hebat bukan sekadar viral. Ia dibentuk dari proses panjang dan konsisten dalam membangun reputasi,β ujar Rasuli dalam sesi penutup.
Kelas Digital ini mendapatkan respons positif dari peserta. Mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan, dan membagikan pandangan masing-masing mengenai branding yang mereka lakukan di organisasi mereka.
Rasuli menutup dengan sebuah pengingat: βMedia sosial bisa menjadi ruang strategis untuk branding. Tapi semuanya kembali pada nilai dan arah yang kalian tetapkan.β
Kontributor : Fika
Ass Editor : Ahmad; Editor :Β M Taufiq Ulinuha