Branding dan Positioning Muhammadiyah di Era Digital: Menjaga Identitas di Tengah Arus Disrupsi

Branding dan Positioning Muhammadiyah di Era Digital: Menjaga Identitas di Tengah Arus Disrupsi
Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha, Dipl., S.Pd. (Pemred PWMJateng.com; Ex-Redaksi Rahma.ID)
PWMJATENG.COM – Dalam lanskap komunikasi modern, branding dan positioning menjadi aspek penting bagi organisasi, termasuk Muhammadiyah. Era digital menghadirkan tantangan sekaligus peluang besar dalam membangun citra, menjaga identitas, dan memperluas pengaruh. Muhammadiyah yang telah berdiri sejak 1912 tidak hanya dituntut menjaga warisan ideologisnya, tetapi juga perlu menegaskan keberadaannya dalam ruang digital yang sarat kompetisi makna.
Menurut Kotler dan Keller (2016), branding bukan sekadar identitas visual seperti logo atau slogan, tetapi lebih jauh mencakup persepsi dan nilai yang melekat dalam benak publik. Sedangkan positioning adalah upaya menempatkan citra organisasi di pikiran audiens agar berbeda dengan yang lain. Dalam konteks Muhammadiyah, branding dan positioning bukan hanya urusan teknis komunikasi, melainkan juga strategi dakwah dan penguatan peran sosial.
Tantangan Branding Muhammadiyah di Era Digital
Era digital ditandai dengan kecepatan arus informasi, banjir konten, dan persaingan narasi. Media sosial, portal berita, dan platform digital menjadi arena pertarungan wacana di mana setiap organisasi berlomba merebut perhatian publik. Muhammadiyah sebagai organisasi besar dengan basis massa luas sering kali menghadapi tantangan: bagaimana menghadirkan wajah yang konsisten, relevan, dan dekat dengan generasi muda?
Kerap kali, citra Muhammadiyah dipersepsikan sebatas organisasi amal usaha—pendidikan, kesehatan, dan sosial. Padahal, nilai inti Muhammadiyah jauh lebih luas, yakni gerakan tajdid (pembaruan) Islam yang berorientasi pada kemajuan peradaban. Tantangan yang muncul ialah bagaimana nilai ini dikemas secara komunikatif di dunia digital, agar tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga membekas dalam benak masyarakat.
Positioning Muhammadiyah: Dari “Gerakan Sosial” ke “Gerakan Digital”
Untuk mempertahankan relevansi, Muhammadiyah perlu menegaskan positioning-nya. Menurut teori positioning Al Ries dan Jack Trout (2001), kunci keberhasilan bukan hanya menawarkan sesuatu yang baru, tetapi menancapkan makna tertentu di benak khalayak. Selama ini, Muhammadiyah sudah diidentikkan dengan amal usaha dan pendidikan berkualitas. Namun di era digital, positioning itu harus diperluas menjadi gerakan yang adaptif, modern, dan mampu hadir sebagai otoritas moral di ruang maya.
Baca juga, Cara Keluar dari Jebakan Kemaksiatan
Contohnya, kehadiran tokoh Muhammadiyah dalam diskusi publik digital bisa mempertegas peran organisasi sebagai penafsir isu-isu kebangsaan dan keumatan. Media resmi Muhammadiyah juga perlu menekankan narasi tentang Islam berkemajuan, agar audiens digital—khususnya generasi Z—mengenal Muhammadiyah tidak hanya dari sekolah atau rumah sakitnya, tetapi juga dari gagasan progresifnya.
Strategi Branding Digital: Dari Konten ke Identitas
Dalam branding digital, konsistensi konten menjadi krusial. Kapferer (2012) menekankan pentingnya brand identity prism, yakni enam elemen identitas merek: fisik, kepribadian, budaya, hubungan, refleksi, dan citra diri. Muhammadiyah dapat menggunakan pendekatan ini untuk menata citranya di ruang digital.
- Fisik: Logo, warna, dan simbol Muhammadiyah perlu dikemas lebih segar dalam desain digital tanpa kehilangan nilai historis.
- Kepribadian: Gaya komunikasi di media sosial harus ramah, lugas, tetapi tetap berwibawa.
- Budaya: Menonjolkan nilai Islam berkemajuan sebagai fondasi budaya organisasi.
- Hubungan: Membangun interaksi dengan audiens, bukan sekadar memberi informasi satu arah.
- Refleksi: Menampilkan Muhammadiyah sebagai representasi Muslim modern, cerdas, dan peduli.
- Citra diri: Membentuk rasa bangga anggota sebagai bagian dari gerakan besar yang relevan di zaman digital.
Peluang dan Arah Baru
Era digital bukan hanya tantangan, tetapi juga peluang. Muhammadiyah bisa memperluas jangkauan dakwahnya melalui podcast, kanal YouTube, hingga TikTok yang berisi konten ringan namun bernilai. Dengan cara ini, dakwah tidak lagi kaku, melainkan membumi sesuai bahasa generasi muda.
Selain itu, Muhammadiyah dapat memanfaatkan big data untuk membaca tren keagamaan dan sosial di masyarakat. Data ini menjadi dasar perumusan strategi dakwah dan pelayanan. Pendekatan berbasis data bukan berarti menghilangkan nilai spiritual, tetapi justru menguatkan efektivitas gerakan.
Menjaga Otentisitas di Tengah Kompetisi
Namun perlu dicatat, branding bukan soal pencitraan kosong. Dalam teori komunikasi organisasi, Cheney dan Christensen (2001) mengingatkan bahwa otentisitas adalah kunci. Jika branding tidak selaras dengan praktik nyata, maka akan terjadi krisis kepercayaan. Muhammadiyah harus memastikan bahwa citra digitalnya sejalan dengan amal usaha, aktivitas dakwah, dan integritas tokoh-tokohnya.
Dalam konteks ini, branding dan positioning Muhammadiyah di era digital bukan sekadar soal visual atau komunikasi, tetapi strategi dakwah yang menyatu dengan kerja nyata. Inovasi digital harus memperkuat identitas sebagai gerakan Islam yang modern, berkemajuan, dan solutif.
Ikhtisar
Branding dan positioning Muhammadiyah di era digital adalah ikhtiar menjaga relevansi di tengah perubahan zaman. Dengan strategi yang tepat, Muhammadiyah dapat memperluas pengaruhnya tanpa kehilangan jati diri. Sebagaimana ditegaskan Kotler (2016), merek yang kuat adalah yang mampu menawarkan makna, bukan sekadar produk. Muhammadiyah memiliki makna besar: dakwah Islam berkemajuan yang menebar rahmat bagi semesta. Kini, tugasnya adalah memastikan makna itu tersampaikan dan diterima generasi digital.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha