
PWMJATENG.COM – Dalam sebuah ceramahnya, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Rozihan, menekankan pentingnya memahami makna bermuhammadiyah tidak sekadar sebagai kegiatan organisasi, melainkan sebagai wujud nyata dari perintah Al-Qur’an. Ia mengingatkan, setiap langkah dalam bermuhammadiyah harus diarahkan untuk mengembirakan Islam dan menghadirkan wajah Islam yang menenangkan.
Rozihan mencontohkan, ketika Muhammadiyah mengadakan kegiatan besar seperti peringatan Hari Bermuhammadiyah, sering kali muncul pertanyaan dari sebagian orang mengenai tujuan dari kegiatan tersebut. Ia menyampaikan bahwa keramaian yang dilakukan bukan tanpa makna. Semua itu, menurutnya, berakar pada perintah Al-Qur’an. Ia menegaskan bahwa dalam Surah Al-Hadid ayat 20 terdapat pengingat tentang makna kehidupan dunia, sehingga bermuhammadiyah harus dipahami sebagai sarana untuk meneguhkan Islam sebagai agama yang membawa kebahagiaan, bukan kesusahan.
Dalam ceramahnya, Rozihan menguraikan tentang makna takwa. Ia menjelaskan bahwa takwa dapat dipahami sebagai al-ḥadaru wal iḥtiyāṭ, yaitu sikap waspada dan hati-hati dalam menjalani kehidupan. Dengan contoh yang sederhana, ia menyebutkan bahwa ketika seseorang menerima tambahan rezeki atau penghasilan, maka yang harus dilakukan adalah bersyukur.
Rozihan mencontohkan, apabila seseorang tiba-tiba memperoleh tambahan penghasilan dalam jumlah besar, respons yang seharusnya dilakukan adalah sujud syukur. Ia mengingatkan bahwa Al-Qur’an memberikan pedoman sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-‘Alaq ayat 19:
وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ
Artinya: “Sujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah.”
Bagi Rozihan, sikap bersyukur tidak boleh dipahami sekadar sebagai luapan kegembiraan yang ditunjukkan dengan menari atau bergembira berlebihan. Syukur yang sejati, katanya, diwujudkan dengan mengeluarkan sebagian harta untuk kepentingan orang lain. Ia mencontohkan, jika seseorang secara mendadak memperoleh rezeki yang tergolong harta rikaz (harta temuan), maka zakat yang dikeluarkan adalah sebesar 20 persen. Dengan demikian, jika memperoleh Rp100 juta, maka wajib dikeluarkan Rp20 juta untuk zakat.
Rozihan mengingatkan bahwa rasa syukur bukan sekadar ucapan lisan, melainkan sikap hidup yang memanifestasikan ketaatan. Orang yang bersyukur akan semakin dekat kepada Allah dan akan mendapatkan tambahan nikmat. Ia mengingatkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, masih ada orang yang sulit mengekspresikan syukur ketika diberi nikmat. Bahkan, tidak jarang ada tokoh yang memberi contoh buruk dengan bersikap berlebihan ketika memperoleh rezeki.
“Syukur itu bukan malah menari, melainkan dengan berbagi,” tegasnya.
Bagi umat Islam, mengekspresikan syukur berarti menjalankan perintah Allah untuk peduli kepada sesama, tidak hanya mengejar kepentingan pribadi.
Baca juga, Jejak Jenderal Sudirman dan Spirit Islam Berkemajuan Muhammadiyah
Dalam bagian lain ceramahnya, Rozihan menyinggung tentang ciri-ciri orang yang dicintai Allah, yang dalam tradisi Islam disebut sebagai Wali Allah. Ia merujuk pada Surah Yunus ayat 62:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
Menurutnya, seorang Wali Allah adalah orang yang senantiasa merasa gembira dalam menjalani hidup. Kegembiraan itu bukan berarti tanpa ujian, melainkan sikap lapang dada dalam menerima kondisi apa pun, baik ketika gaji atau pendapatan naik maupun ketika diturunkan.
Rozihan menekankan bahwa ukuran cinta Allah bukanlah banyaknya harta, melainkan keteguhan hati dalam menghadapi kehidupan. Ia memberi contoh sederhana, banyak orang yang gajinya tidak besar, tetapi tetap hidup dalam ketenangan karena mampu menata hati dan pikirannya. “Orang yang seperti itu sesungguhnya termasuk kekasih Allah,” ujarnya.
Ceramah yang disampaikan Rozihan menegaskan satu pesan penting: bermuhammadiyah harus menjadi jalan untuk menghadirkan Islam yang membahagiakan umat. Islam tidak boleh ditampilkan dengan wajah muram yang menakutkan. Sebaliknya, umat Islam harus membawa keceriaan, ketenangan, dan kebahagiaan.
Ia mengingatkan, seorang Muslim yang sungguh-sungguh dalam takwa akan menjadikan rasa syukur sebagai kunci hidupnya. Syukur itu diwujudkan dengan kepedulian sosial, bukan hanya dengan ucapan. Sementara itu, orang yang dicintai Allah akan hidup dalam kelapangan hati, tanpa dikuasai rasa takut dan kesedihan yang berlebihan.
Pesan-pesan yang disampaikan Rozihan sesungguhnya relevan dengan kondisi umat Islam saat ini. Di tengah situasi sosial yang penuh tantangan, ajakan untuk memperkuat takwa, menumbuhkan rasa syukur, dan menghadirkan wajah Islam yang membahagiakan sangatlah penting.
Bermuhammadiyah, sebagaimana ditegaskan dalam ceramah tersebut, bukan hanya aktivitas organisasi, melainkan jalan spiritual untuk memperkuat keimanan. Dengan berpegang pada Al-Qur’an, umat Islam diajak untuk menjadikan takwa sebagai landasan, syukur sebagai sikap hidup, dan kegembiraan sebagai ciri seorang mukmin yang dekat dengan Allah.
Rozihan menutup ceramahnya dengan penegasan bahwa umat Islam perlu menata kembali makna bermuhammadiyah. Ia berharap, setiap langkah dakwah dan amal usaha Muhammadiyah mampu menghadirkan wajah Islam yang ramah, menenangkan, dan membawa kegembiraan bagi siapa pun.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha