Bencana Sumatera Perlu Respons Menyeluruh: Dosen UNIMMA Soroti Dimensi Kesehatan Jiwa

PWMJATENG.COM, Gelombang duka menyelimuti Aceh dan sejumlah wilayah Sumatera setelah banjir bandang, tanah longsor, dan kerusakan masif menerjang dalam beberapa hari terakhir. Di tengah upaya evakuasi dan penanganan darurat yang masih berlangsung, perhatian publik banyak tertuju pada jumlah korban, kerusakan fisik, dan kebutuhan logistik. Namun di balik itu semua, terdapat luka lain yang tidak kalah serius: dampak psikologis yang senyap dan sering kali terabaikan.
Hal tersebut disampaikan oleh Ns. Muhammad Khoirul Amin, M.Kep., Sp.Kep.J., dosen Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) UNIMMA sekaligus pakar Keperawatan Jiwa (Mental Health Recovery).
Menurut Khoirul, para penyintas kini berhadapan dengan gelombang emosi kompleks—takut, bingung, kehilangan, dan ketidakpastian masa depan.
“Trauma ini tidak selalu terlihat, tetapi dampaknya bisa menghantui bertahun-tahun jika tidak ditangani dengan tepat,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa bencana alam merupakan salah satu pemicu utama Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kondisi psikologis yang dapat muncul ketika seseorang mengalami peristiwa mengancam keselamatan atau menyaksikan kehancuran di sekitarnya.
“Gejalanya bisa berupa kilas balik mendadak, mimpi buruk, sulit tidur, menghindari hal yang mengingatkan pada bencana, hingga perasaan seolah ancaman akan datang kapan saja. Tanpa pendampingan dan dukungan awal, kondisi ini dapat menetap dan mengganggu kualitas hidup penyintas dalam jangka panjang,” terangnya.
Dalam situasi darurat yang serba terbatas, Khoirul menekankan pentingnya Psychological First Aid (PFA) atau pertolongan psikologis awal. Ia menegaskan bahwa PFA bukan terapi, tetapi langkah dasar untuk menenangkan penyintas dan mengurangi risiko gangguan psikologis lebih lanjut.
Ada tiga komponen utama PFA, yaitu Look, Listen, dan Link.
- Look: mengamati situasi, memastikan keamanan, dan mengenali penyintas yang paling rentan secara emosional.
- Listen: hadir dan mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang aman bagi korban untuk bercerita.
- Link: menghubungkan penyintas dengan layanan yang mereka butuhkan, mulai dari medis, logistik, hingga dukungan keluarga dan informasi yang benar.
“Bencana mengubah hidup korban dalam hitungan detik, tetapi pemulihan emosional membutuhkan waktu yang jauh lebih lama. Ketika air surut dan puing dibersihkan, saat itulah trauma psikis sering muncul ke permukaan,” tambahnya.
Khoirul juga menegaskan bahwa rasa takut dan cemas adalah respons manusiawi.
“Menangis bukan tanda kelemahan, dan mencari bantuan psikologis bukan sesuatu yang memalukan. Pemulihan fisik memang penting, tetapi pemulihan jiwa adalah fondasi agar masyarakat Sumatera dapat bangkit kembali dengan lebih kuat dan resilien,” pungkasnya.
Melalui pandangan tersebut, UNIMMA kembali menekankan urgensi perhatian nasional terhadap kesehatan jiwa penyintas bencana. Tidak hanya kebutuhan fisik dan logistik yang harus dipenuhi, tetapi juga pendampingan emosional yang berkelanjutan agar penyintas benar-benar dapat pulih dan kembali menjalani kehidupan dengan rasa aman.
Editor: Al-Afasy



