Belajar dari Surah Al-Fajr: Kesombongan Membawa Kehancuran, Takwa Mengundang Kemuliaan
![al-fajr](https://pwmjateng.com/wp-content/uploads/2025/02/Gambar-WhatsApp-2025-02-08-pukul-12.40.08_a761d390.jpg)
PWMJATENG.COM, Surakarta – Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) kembali menggelar kajian tafsir Al-Qur’an yang membahas Surah Al-Fajr pada Kamis (6/2). Diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting, kajian ini merupakan bagian dari program pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan bagi dosen serta tenaga kependidikan UMS. Acara ini rutin dilaksanakan setiap Kamis pukul 12.30 hingga 13.30 WIB.
Ainur Rha’in hadir sebagai narasumber utama, mengupas makna mendalam Surah Al-Fajr dari perspektif tafsir hingga implikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Kajian diawali dengan pembacaan ayat-ayat Surah Al-Fajr, kemudian dilanjutkan dengan analisis dari berbagai ulama.
Dalam pemaparannya, Ainur Rha’in menjelaskan bahwa terdapat dua pandangan ulama mengenai makna kata “Al-Fajr” dalam ayat pertama. Sebagian menafsirkan Al-Fajr sebagai waktu subuh, momen ketika kegelapan malam berganti dengan cahaya pagi. Sementara itu, pendapat lain menyebut Al-Fajr sebagai shalat subuh, yang dalam hadis disebut sebagai shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik.
“Rasulullah SAW bersabda dalam HR. Muslim No. 657, ‘Barang siapa yang shalat subuh (secara berjamaah), maka ia berada dalam lindungan Allah,’” ujar Ainur.
Mengenai frasa “malam-malam yang sepuluh”, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, waktu yang penuh dengan keutamaan ibadah, termasuk haji dan Iduladha. Namun, ada pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, yang di dalamnya terdapat Lailatulqadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Ainur mengutip HR. Bukhari No. 969, yang menegaskan bahwa amalan saleh di sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih dicintai Allah dibandingkan amalan di hari-hari lain, bahkan lebih utama daripada jihad kecuali jihad yang dilakukan dengan jiwa dan harta yang tidak kembali.
Baca juga, Rahasia Menjadi Ahli Al-Qur’an: Cukup 5 Menit Sehari!
Kajian semakin menarik saat Ainur menyoroti nasib kaum-kaum terdahulu yang dibinasakan Allah karena kesombongan dan kedurhakaan mereka. Dalam Surah Al-Fajr ayat 6-14, Allah menyebutkan tiga kaum besar yang mengalami kehancuran. Pertama, Kaum ‘Aad, yang dikenal dengan peradaban megah dan kokoh. Namun, karena menolak ajakan Nabi Hud AS, mereka dihancurkan oleh angin topan yang dahsyat. Kedua, Kaum Tsamud, yang memiliki keahlian mengukir rumah di gunung batu, tetapi akhirnya dibinasakan dengan suara menggelegar karena menolak dakwah Nabi Saleh AS. Ketiga, Fir’aun dan tentaranya yang ditenggelamkan di Laut Merah akibat kezaliman mereka terhadap Bani Israil.
“Kaum-kaum ini adalah contoh nyata bagaimana kesombongan dan kezaliman membawa kehancuran. Allah hanya mengirim angin untuk membinasakan Kaum ‘Aad, suara menggelegar untuk menghancurkan Kaum Tsamud, dan menenggelamkan Fir’aun di lautan. Ini adalah azab dunia, sedangkan di akhirat mereka akan menerima siksa yang jauh lebih berat,” jelas Ainur.
Lebih lanjut, Ainur menyoroti ayat 15-16 Surah Al-Fajr yang menggambarkan kesalahan pola pikir orang kafir dalam menilai kemuliaan dan kehinaan berdasarkan kekayaan dan jabatan. Ketika seseorang diberi rezeki berlimpah, ia menganggap dirinya dimuliakan, sedangkan jika diuji dengan kesulitan, ia merasa dihina.
“Pandangan ini keliru. Kemuliaan sejati dalam Islam bukan diukur dari kekayaan, tetapi dari keimanan dan ketakwaan. Banyak tokoh kaya seperti Fir’aun, Qarun, dan kaum ‘Aad yang justru dihancurkan oleh Allah karena kesombongan mereka,” terang Ainur, merujuk pada Tafsir As-Sama’ani dan Tafsir Al-Qurthubi.
Dari kajian ini, terdapat beberapa pesan utama yang dapat diambil. Pertama, tolak ukur orang kafir adalah harta dan jabatan, sedangkan dalam Islam, kemuliaan dinilai dari keimanan dan ketakwaan. Kedua, banyak kaum terdahulu yang kaya raya tetapi dihancurkan Allah karena kesombongan mereka. Ketiga, kemuliaan sejati bukan terletak pada kekayaan, melainkan pada ketaatan kepada Allah.
Kontributor : Yusuf
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha