Batik: Antara Hasil Budaya Manusia dan Nilai Ekonomi
Batik: Antara Hasil Budaya Manusia dan Nilai Ekonomi
Oleh : Rumini Zulfikar (Gus Zul) (Penasehat PRM Troketon, Anggota Bidang Syiar MPM PDM Klaten, Anggota Majelis MPI & HAM PCM Pedan)
PWMJATENG.COM – Batik merupakan warisan budaya yang memiliki makna mendalam serta filosofi yang menggambarkan harapan dalam kehidupan manusia. Setiap tanggal 2 Oktober, masyarakat Indonesia memperingati Hari Batik Nasional. Penetapan hari ini didasarkan pada keputusan UNESCO pada 2 Oktober 2009 dan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009.
Jika ditelusuri, sejarah batik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit pada akhir abad ke-18. Beberapa literatur mencatat bahwa batik sudah ada sejak abad ke-16 pada masa Kesultanan Mataram (Sumber: Kompas, 24 Oktober 2022). Awalnya, batik hanya digunakan oleh kalangan keluarga kerajaan dan bangsawan.
Motif batik menggambarkan identitas budaya. Kita mengetahui bahwa batik memiliki beragam motif dan corak yang merupakan cerminan dari identitas tersebut. Beberapa motif yang terkenal antara lain adalah motif buketan, jumplang, Tiongkok, Islam, serta motif dari Cirebon, Indramayu, Solo, dan Yogyakarta.
Korelasi Batik dalam Falsafah Kehidupan
Motif batik parang mengandung pesan bahwa dalam kehidupan ini terdapat gelap dan terang, suka dan duka. Sementara itu, motif truntum menyampaikan makna bahwa meskipun dalam keadaan gelap, secercah cahaya akan selalu ada. Hal ini juga melambangkan cinta yang tumbuh kembali, yang didasari oleh cita-cita tulus tanpa syarat, dan berkembang dengan subur.
Baca juga, Pemimpin yang Suul Khuluq: Bahaya Bagi Umat dan Bangsa
Selain itu, terdapat juga motif sido mukti yang melambangkan kebahagiaan dan keberuntungan, serta masih banyak lagi motif lain seperti sido luhur dan sido mulya.
Muhammadiyah dalam Menjaga Batik sebagai Warisan Budaya
Dalam sejarahnya, KH Ahmad Dahlan dikenal sebagai saudagar batik. Melalui usaha dagang batik, beliau mampu membantu dakwahnya. Kauman Yogyakarta juga dikenal sebagai pusat batik. Banyak tokoh Muhammadiyah, baik di Yogyakarta maupun di Solo, yang merupakan pengusaha batik. Sebagai bentuk menjaga nilai-nilai tersebut, di Solo didirikan yayasan batik dan lembaga pendidikan seperti SMP dan SMA Batik.
Bagi Muhammadiyah, merawat warisan budaya yang bernilai tinggi serta memiliki potensi ekonomi adalah suatu keharusan. Pada Kongres Muhammadiyah ke-45 di Padang, Sumatra Barat, tahun 2000, diperkenalkan seragam batik dengan motif tumpal. Motif ini melambangkan “Kebersamaan dalam perjuangan mencapai tujuan,” sebagai identitas organisasi. Awalnya, hanya pimpinan dan utusan daerah yang mengenakannya, namun seiring waktu, seragam ini menjadi populer di kalangan seluruh warga persyarikatan.
Saat ini, di bawah kepemimpinan Direktur Utama Suara Muhammadiyah, Dato Marajo Deni Asariy, inovasi dan kreativitas dalam motif batik semakin berkembang. Banyak motif yang telah beredar, dan kini banyak warga persyarikatan yang mengenakannya, dimulai dengan seragam nasional Muhammadiyah berwarna hijau.
Oleh karena itu, kita sebagai warga persyarikatan maupun sebagai warga negara sepatutnya merawat dan melestarikan warisan budaya ini. Ini juga merupakan bentuk ikhtiar dalam meningkatkan ekonomi umat dan persyarikatan. Selamat Hari Batik Nasional tahun 2024!
Editor : M Taufiq Ulinuha