Barisan Tani Muhammadiyah: Membumikan Tauhid dan Membebaskan Kaum Mustadh’afin

Oleh: Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)
PWMJATENG.COM – Di tengah arus perubahan zaman, ketika agama sering terjebak menjadi sekadar ritual tanpa makna, Muhammadiyah hadir sebagai kekuatan pembaruan. Agama tidak hanya dipahami, tetapi digerakkan. Tidak hanya diimani, tetapi juga dibumikan dalam kehidupan nyata.
Muhammadiyah menolak agama menjadi kaku, jumud, dan terasing dari realitas sosial. Saat sebagian umat larut dalam kenikmatan spiritual yang pasif, Muhammadiyah justru menegaskan tauhid sebagai landasan perjuangan. Tauhid inilah yang menggerakkan keberpihakan pada kaum tertindas, membela yang lemah, serta memperjuangkan keadilan sosial dalam bingkai ibadah yang menyeluruh.
Dalam catatan sejarah, kaum tani, buruh, dan nelayan sering ditempatkan di pinggiran. Mereka dimiskinkan oleh struktur ekonomi yang timpang dan dibungkam oleh budaya yang mengekang. Ideologi kiri pernah menawarkan “surga dunia” bagi kaum proletar, meski tanpa menghadirkan Tuhan. Muhammadiyah menjawab tantangan itu dengan jalan tengah yang bersumber dari tauhid, bukan dari ideologi yang menafikan Sang Khalik.
Jejak KH Ahmad Dahlan memberikan teladan penting. Pendiri Muhammadiyah ini tidak alergi pada gagasan perubahan sosial. Ia berdialog dengan tokoh-tokoh kiri seperti Semaun dan Darsono. Bukan untuk membenarkan ideologi mereka, melainkan untuk menunjukkan bahwa Islam memiliki ajaran pembelaan terhadap kaum mustadh’afin. Mereka dimiskinkan bukan karena kehendak Tuhan, melainkan akibat sistem yang zalim.
Sejak awal, Muhammadiyah menegaskan bahwa agama adalah kekuatan transformatif. Ibadah melahirkan gerakan, akidah menumbuhkan keberpihakan, dan akhlak menuntun perjuangan. Tauhid menjadi fondasi sekaligus kompas perjuangan sosial. Keimanan bukanlah pelarian dari realitas, tetapi energi untuk mengubah realitas itu sendiri.
Baca juga, Hukum Gaji yang Didapatkan dari Pekerjaan Lewat Jalur Ordal
Dalam kerangka ini, keberadaan Jaringan Tani Muhammadiyah (JATAM) memiliki peran strategis. JATAM bukan sekadar organisasi, melainkan amal shalih yang terlembaga. Kehadirannya menjadi wujud dakwah bil hal yang nyata. JATAM mengangkat martabat petani melalui pemberdayaan, bukan sekadar retorika. Ia mewujudkan keadilan bukan dengan caci maki terhadap sistem, melainkan dengan membangun kekuatan alternatif dari bawah.
Membangun Barisan Tani Mandiri bukan hanya soal kedaulatan pangan, tetapi juga kedaulatan jiwa. Petani tidak hanya harus hidup layak, tetapi juga bermartabat. Di tengah derasnya modernisasi yang tidak selalu adil, Muhammadiyah menegaskan bahwa membela agama berarti membela manusia. Membela Islam berarti membela petani, buruh, nelayan, anak jalanan, dan seluruh kaum yang terpinggirkan.
Mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lembaga pemberdayaan bukan sekadar strategi sosial, melainkan ekspresi iman. Kini saatnya menyatukan semangat keislaman dengan semangat kerakyatan. Barisan Tani Mandiri adalah bukti nyata bahwa Islam tidak berhenti pada kesalehan pribadi, tetapi juga menegakkan kesalehan sosial.
Inilah wajah Islam yang mencerahkan, membebaskan, dan memanusiakan. Muhammadiyah akan terus menggerakkan agama dan menghidupkan kehidupan. Selama masih ada ketimpangan, ketidakadilan, dan petani yang kehilangan haknya, Muhammadiyah akan hadir dengan tauhid di dada dan amal shalih di tangan.
Wallahu a’lam.
Selamat dan sukses atas terselenggaranya Jambore Nasional I Jaringan Tani Muhammadiyah (JATAM) di Kebumen, 19–21 September 2025.
Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha